Selama
ini Banda Aceh memang tidak punya bioskop. Lebih tepatnya tidak punya bioskop
sejak tsunami. Sebelum tsunami merusak banyak fasilitas gedung di Aceh, ada
beberapa bioskop beroperasi di Aceh, antara lain; PAS 21, Garuda, Merpati, dan
Gajah Theater. Gajah Theater adalah satu-satunya bioskop yang masih beroperasi
sesaat sebelum tsunami datang.
Jadi
begitulah, selama nyaris sembilan tahun warga Aceh tidak lagi menonton bioskop.
Saya sendiri terakhir nonton bioskop di Gajah Theater pada tahun 2002. Lama
sekali ya. Gedung Teater Gajah termasuk gedung yang terkena imbas tsunami, tapi
gedungnya sendiri tidak mengalami kerusakan yang begitu berarti. Secara
penampilan, bentuknya masih hampir sama seperti sebelum tsunami. Hanya saja,
karena tidak pernah dipakai lagi, gedung itu menjadi tidak terawat dan menjadi
bangunan tua tanpa fungsi. Di saat Aceh sedang giat-giatnya membangun,
gedung-gedung lainnya direnovasi bahkan dibuat baru, entah kenapa, Teater Gajah
sama sekali tidak ada yang melirik.
Teater Gajah. Bioskop yang pernah berjaya. Gambar dari SINI |
Ada
yang berpendapat bahwa sejak diberlakukannya syari’at Islam di Aceh,
tempat-tempat yang disinyalir menjadi tempat maksiat, seperti tidak mendapat
tanggapan dan tanpa sentuhan. Salah satunya gedung Teater Gajah. Saya kira ini
hanya lelucon yang dihembuskan oleh orang-orang yang tidak senang Aceh maju.
Yang namanya tempat maksiat bisa dilakukan di mana saja, tho?
Apakah
keberadaan bisokop itu penting? Menurut saya, penting. Dan perlu diadakan segera
di kota Banda Aceh ini. Faktanya, selama lebih dari 10 tahun ini perfilman
Indonesia sedang merangkak naik, setelah sebelumnya sempat mati suri dalam
waktu yang lebih lama lagi. Setelah booming film ‘Ada Apa dengan Cinta’
di tahun 2002, film-film baru terus bermunculan setiap tahunnya. Meski dari
segi kualitas film Indonesia masih kalah jauh dibandingkan film-film Hollywood
yang nggak ada matinya, film Indonesia tetap mendapat tempat di hati penonton.
Terdapat beberapa film yang tercatat memiliki jumlah penonton terbanyak, sebut
saja misalnya; Surat Kecil untuk Tuhan, Hafalan Salat Delisa, dan yang paling anyar adalah Habibi dan Ainun.
Coba
tanya sama saya, di antara judul-judul film di atas, yang beritanya sering wara
wiri di tivi, di media online, dan di media sosial, manakah yang sudah saya
tonton? Jujur, yang baru saya tonton cuma satu Hafalan Salat Delisa. Itu
juga baru saya lihat, akhir tahun lalu, setelah beberapa tahun penayangannya.
Miris, ya? Masyarakat Aceh jadi sering tertinggal dalam urusan menonton film.
Kami boleh jadi tahu tentang film yang akan beredar sebulan ke depan, misalnya,
dari internet atau surat kabar. Tapi kami baru bisa menontonnya setelah film
itu diturunkan dari bioskop-bioskop di seluruh Indonesia, setelah diskusi dan
perbincangan-perbincangan seru tentangnya tidak lagi menjadi topik hangat,
akhirnya ya sudah, kami buat topik sendiri, walaupun yeah… sudah basi.
Ada
lagi kisah seorang teman saya. Rela pergi ke Medan demi bisa menonton Breaking
Down. Ini dilakukannya sejak Breaking Down 1. Bayangkan berapa
banyak modal yang harus dikeluarkannya hanya agar bisa menjadi penonton
pertama. Itung-itungan nih ya. Sebeleum BBM naik Juni lalu, ongkos Banda
Aceh–Medan adalah 140.000 Rupiah. Dua kali perjalanan pergi dan pulang, jadinya
280.000 Rupiah. Memang harga karcis bioskop tidak semahal harga tiket
bus, tapi dengan menempuh perjalanan sejauh itu (Banda Aceh–Medan
menempuh 12 jam perjalanan darat), dengan tambahan yang membengkak di ongkos
bus, rasanya itu sangat memberatkan.
Dan,
akhirnya berita bahagia itu datang juga.
Akhir Agustus lalu, walikota Banda Aceh, Ir. Mawardy Nurdin, MEng, Sc,
menyebutkan salah satu rencana Pemkot Banda Aceh ke depan adalah membangun
bioskop. Rencana tersebut terungkap saat pak Walikota menerima kunjungan
Sekretaris Utama Kedutaan Besar Austria Jakarta, Thomas Zehetner. Sebenarnya
kunjungan perwakilan Kedutaan Besar Austria tersebut bukanlah dalam rangka
membangun bioskop. Namun di sela-sela pembicaraan mereka, yang juga diliput
oleh berbagai media cetak maupun online di Aceh, Thomas Zehetner sempat
menanyakan perihal ketiadaan bioskop di Kota Banda Aceh. Dan pada kesempatan
itu pulalah pak walikota menjawab tentang rencana mereka ke depannya.
Berita
tentang rencana tersebut tentu saja membawa angin segar untuk masyarakat Aceh.
Sudah lama orang-orang kreatif di Aceh, terutama para sineas muda dan kritikus
film, tidak mendapat tempat untuk menyalurkan hasil pikir mereka. Saya pribadi, sebagai seorang penikmat film, berharap semoga rencana ini berjalan lancar dan tidak mendapat halangan
yang berarti dalam proses pembangunannya nanti. Semoga.
10 comments
Write commentsSudah lama gak ke bioskop sejak terakhir kali itu kelas 2 SMA :D
ReplyAamiin. makasih atas kunjungannya mbak ela
Replybagus nih nggarap local genius (kearifan lokal) dalam suatu web..kembangkan saja pasti ada jalan untuk berhasil.. btw, Perkenankan saya memperkenalkan weblog saya #SurabayaPunyaCerita yang saya gagas untuk memberikan wawasan tentang Surabaya dulu,kini dan nanti. Bagi kawan2 yang ingin berbagi cerita bisa kirim ceritanya via email ke: redaksi@ceritasby.com. Bagi yang memiliki twitter bisa follow kami di @ceritasby dan bisa juga like fanpage FB kami di Surabaya Punya Cerita.. Semoga bermanfaat!! Mbak Fardelyn Hacky bisa klik di http://ceritasby.com
ReplySaya ke bioskop banyakan menonton film kartun terbaru :D menyesuaikan dengan anak-anak. Eh semoga terlaksana ya pembangunan bioskop di Acehnya.
ReplyJadi kangen bioskop zaman aku kecil dulu. Itu tuh yang posternya pake lukisan. Ahahahaha...
Replyyeayyyy asikk nanti nonton film ku ya mak haha
Replykapan juga coba
Keren Ki liputannya, semoga terealisasi :)
Replyklo lisa balik aceh berarti bakalan ada bioskop ya
Replymbak Lina:
ReplyAamiin. makasih mbak Lina :)
Mbak Nia:
Di tempat saya disebut PHR mbak; Panggung Hiburan Rakyat. Poster film di PHR kadang sering vulgar ya mbak, hahaa....
mak Hana:
wkwkwk...ngayal teroooos mak :p
Bai:
Aamiin ;)
Lisa:
Kapan tepatnya, itu yang daku kurang tau Lisa :D
ConversionConversion EmoticonEmoticon