(Cerpen) Menunggu Ayah Pulang



Cover buku Meusyen


 


Cerpen di bawah ini adalah cerpen yang pernah dimuat di buku dengan cover di atas, antologi cerpen 'Meusyen'. Selamat membaca
***




MENUNGGU AYAH  PULANG
Oleh : Fardelin Hacky Irawani

Teng…teng…teng…
Besi kecil dan panjang di depan ruang guru dipukul tiga kali. Besi itu dipasang di situ sebagai lonceng. Pagi hari dipukul tiga kali sebagai tanda masuk ke kelas untuk belajar. Dua kali untuk tanda istirahat. Dan tiga kali di waktu siang sebagai tanda bahwa jam sekolah sudah selesai.  Siang ini Pak Samsul menyuruh kami maju ke depan satu persatu, menyetor hapalan surat Juz Amma.  Dan begitu lonceng tersebut dibunyikan, kulihat teman-teman lansung kasak-kusuk di bangku masing-masing. 
“Baiklah, anak-anak. Bapak rasa cukup sekian dulu untuk hari ini. Bagi yang belum kena giliran maju ke depan, tolong dilancarkan hapalannya di rumah!” Kemudian Pak Samsul mengemas semua buku-buku di mejanya dan setelah mengucapkan salam, beliau lalu keluar. 
Aku mengambil bukuku dari bawah meja dan mengisi ke dalam tasku yang resleting-nya sudah terbuka. Aku ingat tas ini dibeli Mamak saat aku baru masuk sekolah dan tentu saja masih aku pakai sampai saat ini. Aku sangat senang saat pertama kali aku menerima tas ini karena saat itu pula aku menyandung status sebagai murid Sekolah Dasar. Saat itu Ayahlah yang  mengantarku ke sekolah.
Di kampungku memang tidak ada sekolah selain SD tempatku bersekolah. Hanya itu satu-satunya. Gedungnya masih berlantai semen kasar dan tidak rata. Kalau disapu, debunya seperti  tak akan habis-habisnya, sehingga kalau duduk di lantai itu,  maka celana sekolah akan putih berdebu. Dinding bagian bawah di bangun dari semen, sedang ke atasnya lagi sampai  ke atap dindingnya terbuat dari kayu. Gedung sekolah ini sudah tampak kusam. Saat belajar di musim kemarau, keringat akan keluar dan membasahi baju putih. Panas atap seng membuat gerah. Ruang kelas di sekolah ini tidak ada loteng seperti halnya di kantor guru, sehingga kalau siang hari tiba, rasanya seperti dipanggang di bawah matahari.
Kebanyakan orang kampungku memang tidak mau  bersekolah. Temanku si Dayat bahkan sudah berhenti sama sekali. Di sekolah dia suka sekali membuat onar. Badannya sangat besar sehingga hampir sebagian siswa di sekolah takut padanya. Tapi karena dia malas sekali belajar,  waktu kelas empat SD dia berhenti sekolah. Padahal ayahnya termasuk orang berada.  Dayat punya  tiga orang abang. Semua abangnya juga tidak menamatkan SD. Abang Dayat dan teman-teman  sebayanya suka nongkrong di kedai kopi Cut Lem, menonton tivi.
Tivi merupakan satu-satunya hiburan, sekaligus barang yang sangat berharga di kampungku. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa membeli  tivi. Rumah Cut Lem, rumah Makcek Ros dan rumah Pak Keuchik.
Makcek Ros masih kerabat dekat Pak Keuchik. Anak laki-lakinya yang bernama Rahmad adalah teman sekelasku. Tapi dia jarang mau bermain denganku. Di sekolah dia hanya mau bermain dengan anak Pak Keuchik. Kalau aku menonton di rumahnya, Rahmad selalu menendang kakiku. Dia selalu bilang tidak sengaja. Aku tak pernah marah. Kalau tidak, aku pasti tak akan diizinkannya masuk ke rumahnya.
***
Aku  tinggal bersama Mamak dan Makpo di desa Alue Paya. Aku masih duduk di kelas lima SD. Aku tak pernah merayakan yang namanya ulang tahun seperti yang pernah kulihat di tivi, karena itu aku tak pernah peduli dengan hal tersebut. Kulihat di tivi waktu itu, seorang anak perempuan –mungkin seusiaku– memakai baju merah jambu berenda, bernyanyi sambil menepuk-nepuk tangan, kemudian meniup lilin di hadapan anak-anak lainnya. Bandonya terlihat mengkilat di atas  kepalanya. Anak perempuan itu kelihatan sangat berbahagia sekali. Semua orang mengucapkan selamat dan mencium pipinya. Tapi belum sempat kulihat bagaimana kelanjutannya, tivi dimatikan oleh Makcek Ros.
 “Mengganggu orang menonton saja kalian ini!” begitu selalu kata Makcek Ros kalau suasana mulai ribut.
Mamak selalu melarangku menonton di rumah Makcek Ros. Kata Mamak, aku lebih baik di rumah membantu Mamak. Kurasa aku tahu kenapa Mamak marah. Setiap kali aku dan teman-temanku nonton di rumah Makcek Ros, dia selalu mengatur kami.
“Hei, anak-anak, kalau mau nonton di sini, kalian harus sudah mandi dulu. Kalau tidak, nanti rumahku bau!”
Atau dia akan bilang begini,
“Rumahku jadi sesak dengan anak-anak kotor ini!”
Makcek Ros bahkan pernah mematikan tivi saat kami sedang enak-enaknya menonton film kartun. Rahmad meraung-meraung. Dia tidak mau tivi dimatikan.  Makcek Ros membentak Rahmad di depan kami. Dia bilang ongkos listrik sekarang sudah naik. Kemudian kami pulang ke rumah masing-masing. Aku yakin pendengaranku masih berfungsi dengan baik. Beberapa menit kemudian aku mendengar suara  dari rumah Makcek Ros. Aku tahu itu suara tivi dan pintu rumah mereka dikunci rapat-rapat dari dalam.
Tapi aku tak pernah jera diperlakukan begitu. Aku  selalu ingin  mengintip ke rumah Makcek Ros. Aku penasaran kalau filmnya belum selesai kutonton.
Mamak tak pernah menonton di rumah Makcek Ros. Sehabis pulang dari ladang, Mamak akan menganyam tikar  daun pandan bersama Makpo. Anyaman tikar Mamak tidak seindah buatan Makpo. Mamak hanya sesekali menyentuh anyaman itu. Mereka membuat tikar-tikar itu hanya untuk keperluan  di rumah saja. Tikar di rumahku sudah banyak yang bolong, digigit tikus atau dimakan usia. Mereka tak mau menjualnya ke orang-orang, karena hampir sebagian orang tua di kampungku pandai menganyam tikar. Kalaupun dibawa ke pasar, harganya tidak cukup untuk membeli beras.
Suatu kali aku meminta Mamak agar  mau membeli tivi. Setelah mengatakan itu, kulihat Mamak bersedih. Kemudian Makpo menarik lenganku dan membawaku ke dalam.  Makpo menasehatiku panjang lebar.
“Endi, kamu jangan meminta yang tidak-tidak. Kita orang miskin, Nak! Tak sanggup membeli tivi seperti Makcek Ros. Apalagi kita ini hanya mengharapkan hasil dari  kebun. Bisa makan saja sudah syukur. Yang penting kita tidak lapar.”
Makpo, nanti kalau ayah sudah pulang, aku minta dibelikan sama ayah saja, ya?”
Makpo menatapku lama. Dia tidak menyahut  sama sekali. Kemudiam Makpo beranjak ke belakang.
“Makpo, kenapa ya ayah belum pulang juga? Tadi siang Sahrul bercerita padaku. Dia mendapat kabar bahwa ayahnya akan segera pulang. Tapi kenapa kita tak mendapat kabar apa-apa dari ayah?”
Makpo tidak menyahut. Dia terus saja keluar sambil menenteng sebuah parang panjang. Meskipun  sudah tua, Makpo masih kuat sekali. Dari pagi sampai sore,  Makpo dan Mamak menghabiskan waktu di ladang. Karena tak punya cukup uang, Mamak dan Makpo tidak sanggup membayar orang untuk membersihkan ladang.
Kalau sekolah sedang libur, aku dibawa serta ke ladang. Biar adikku ada yang menjaga.  Ladang kami sangat jauh  dari rumah. Untuk sampai ke sana, kami harus melewati jalan setapak yang sempit. Jalan setapak itu berada di antara ladang-ladang milik penduduk kampungku. Di kiri kanan jalan, tumbuh rumput-rumput yang tinggi. Karena badanku yang kecil, aku sering terluka, terkena goresan rumput dan semak-semak hutan. Makpo dengan sigap mengayunkan parangnya, menebas semak dan rerumputan  yang tinggi menghalangi jalan.  
Untuk sampai ke ladang, kami akan menghabiskan waktu satu jam di jalan. Kadang aku meminta Mamak untuk beristirahat, kakiku pegal.    Tapi mereka terus saja berjalan. Padahal Mamak berjalan sambil  menggendong Dek Agam, adikku. Mereka seperti tak pernah merasakan kelelahan. Karena aku tak mau tertinggal jauh di belakang, aku berlari menyusul mereka. Padahal lokasi ladang kami adalah yang  paling jauh di antara ladang-ladang penduduk, semak-semak di sekitar jalan semakin tinggi.
Sesampai di ladang, biasanya Mamak akan menidurkan Dek Agam terlebih dahulu. Kemudian Mamak akan melanjutkan pekerjaannya. Selagi mereka bekerja, aku menjaga Dek Agam. Adikku ini masih kecil sekali. Umurnya tiga tahun. Seharusnya belum layak untuk dibawa ke ladang, tapi karena tak ada siapapun di rumah, maka Dek Agam selalu dibawa serta ke ladang. Kalau aku libur sekolah, maka aku yang akan menjaga Dek Agam di ladang.
***
Suatu hari di musim kemarau, aku pergi ke ladang bersama Mamak. Makpo tidak ikut, sedang  tidak enak badan. Dek Agam tinggal bersama Makpo. Untunglah Dek Agam tidak rewel. Dia mau sama siapa saja asal ada yang menjaganya. Kemudian Mamak mengajakku ke ladang.
Hari itu hari Minggu. Aku berjalan di belakang Mamak. Meskipun aku laki-laki, tapi aku selalu kalah kalau harus berjalan dengan Mamak. Langkah Mamak lebar-lebar dan cepat. Aku selalu tertinggal di belakang kalau berjalan dengan Mamak, begitu juga kalau aku berjalan dengan Makpo. Aku bersenandung lagu Prang Sabi. Aku suka sekali dengan lagu ini. Kata Bu Niar, guru kesenianku di sekolah,  lagu Prang Sabi itu adalah lagu untuk membangkitkan semangat juang para pahlawan yang melawan penjajah Belanda. Selama aku bernyanyi, aku sesekali memetik buak ranum yang mirip buah rambutan yang hidup liar di pinggir jalan itu. Buahnya berselaput. Aku senang sekali. Bisanya aku harus berbagi dengan Dek Agam, tapi kali ini aku memakannya sendiri. Mamak menegurku. Menyuruhku supaya berjalan lebih cepat.
Sampai di belokan yang sedikit menanjak, aku mendengar sesuatu. Seperti daun yang bergesek. Di sepanjang jalan setapak yang kecil ini, banyak sekali daun-daun lebar memenuhi jalan. Kalau berjalan di sepanjang  jalan itu, biasanya helai-helai daun itu akan berbunyi. 
Aku yakin sekali, suara itu bukan berasal dari daun yang bergesek dengan kaki kami. Aku mendengar seperti ada…seperti ada yang berjalan di belakang kami. Apa ini hanya pendengaranku saja? Aku menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa, kok! Aku berjalan lebih cepat. Menyejajarkan langkahku dengan Mamak. Tapi tetap saja Mamak berjalan lebih cepat. Aku mendengar lagi suara daun yang bergesek. Srek…srek…srek…
“Mak…”
“Cepat, Ndi. Kita sudah  terlambat  dari rumah. Jangan sampai kemalaman saat kita pulang ke rumah nanti. Kasihan Dek Agam,” kata Mamak sambil tetap berjalan.
“Apa Mamak mendengar sesuatu?” tanyaku.
“Tidak!” jawab Mamak.
Kami terus berjalan hingga akhirnya kami sampai di ladang. Karena tak ada Dek Agam, aku  membantu pekerjaan Mamak. Aku disuruh mengerjakan yang ringan-ringan saja, seperti  membakar sampah sisa kemarin sore, saat Mamak dan Makpo membersihkan ladang ini. Asap mengepul dari pembakaran. Ternyata sisa sampah kemarin belum terlalu kering, bagian bawahnya masih ada rumput yang basah.
Menjelang tengah hari, kami dikagetkan oleh bunyi sradak-sruduk yang entah berasal dari mana. Aku pikir mungkin itu hanya babi hutan yang lewat di sebelah ladang kami. Memang, semak  di sekitar ladang kami sangat lebat. Kami terus saja melanjutkan pekerjaan. Tiba-tiba aku mendengar Mamak berteriak. Aku berlari secepat kilat ke arah Mamak. Mungkinkah babi hutan itu sudah masuk ke kebun kami? Lima meter dari Mamak, aku berdiri terpaku. Mukaku pucat seperti muka Mamak. Di hadapan kami tidak ada babi hutan seperti dugaanku, melainkan seorang laki-laki yang seharusnya saat ini berada di rumahku .
Dia ayahku!
Aku tak tahu kenapa tiba-tiba ayah ada di ladang hari ini. Yang aku ingat, ayah kemudian menarik lengan kami untuk berdiri di tempat yang agak tertutup di sekitar semak-semak yang ada di ladang. Di situ, ada bagian yang agak menjorok ke bawah dan  semaknya agak lebat dibandingkan dengan tempat lain. Ke situlah ayah mengajak kami.
Rambut ikal ayah berantakan sekali. Sudah agak gondronng menurutku. Seperti tidak terurus sama sekali. Wajahnya dipenuhi cambang yang lebat. Kumis ayah melintang di atas bibirnya. Kalau saja tidak mengingat bahwa ayah punya bekas luka di atas alisnya, tentu aku tidak akan mengira bahwa sosok itu  adalah ayahku.
Ayah memelukku lama. Dia mendekapku erat-erat. Air matanya tumpah membasahi bajuku.
“Anakku sudah sebesar ini rupanya,” itu yang diucapkan ayah di sela-sela isak tangisnya. Mamak ikut berjongkok di samping ayah. Mamak juga menangis, tapi tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
Aku tak tahu harus berkata. Entah bahagia, entah apa. Ayah meninggalkan kami ketika aku masih kelas dua SD. Dan sekarang aku sudah kelas lima. Aku masih ingat ketika itu, ketika hujan baru saja mengguyur atap rumah kami, beberapa tahun lalu. Ayah memasukkan beberapa lembar baju dengan tergesa-gesa ke dalam sebuah ransel lusuh. Waktu itu rambut Ayah tidak berantakan, juga tidak segondrong seperti yang kulihat hari ini. Wajah Ayah juga bersih, tanpa cambang maupun kumis. Hanya saja kulihat Ayah gelisah sejak malam sebelumnya. Hari itu Mamak menangis seperti hari ini. Tanpa mengeluarkan kata.
Dan ketika hujan reda, Ayah mencium tangan Makpo takzim. Memelukku erat dan lama seperti hari ini. Kemudian Ayah menatap mata Mamak. Ayah tidak memeluk Mamak sama sekali. Hanya saja ayah sempat mengusap calon adikku yang saat itu masih dalam perut Mamak. Setelah itu Ayah melangkah tergesa-gesa melewati pintu belakang  dan menghilang di balik hutan yang ada di belakang rumah kami.
Kulihat Mamak menangis. Makpo terdiam. Aku? Aku hanya memandangi lantai tanah rumah kami. Apakah aku masih terlalu kecil untuk bisa memahami apa yang terjadi?
Kudengar kemudian dari orang-orang yang mengatakan bahwa ayahku adalah seorang pemberontak. Ayahku punya senjata berbahaya. Kemudian kampungku didatangi oleh tentara berbaju loreng. Mereka menggeledah rumah-rumah. Juga menggeledah rumahku. Mereka menanyakan di mana ayah. Mamak hanya menggeleng saat itu. Kami memang benar-benar tak tahu Ayah ada di mana sampai hari ini, Ayah muncul di hadapan kami.
Ayah berbicara dengan Mamak. Aku tak tahu apa isi perbincangan mereka karena mereka hanya berbicara berdua saja. Kulihat Ayah berkali-kali mengusap air mata Mamak. Kemudian Ayah mendekatiku.
“Endi, dengar! Sekarang kamu sudah besar. Jaga Mamak, Makpo juga Dek Agam. Ayah ingin Endi jadi anak yang berbakti. Rajin-rajin belajar dan mengaji. Tak lama lagi Ayah akan pulang. Ayah Janji!”
Setelah mengatakan itu, Ayah memeluk kami sekali lagi. Kali ini aku dan Mamak dipeluknya berdua. Beberapa menit kemudian Ayah melompat cepat ke dalam hutan di luar pagar pembatas ladang kami dan menghilang lagi.
Aku tak mengerti, kenapa ayah tak pulang saja ke rumah. Kenapa hanya ayahku yang seperti itu sementara ayah teman-temaku yang lain ada di rumah? Di sekolah, aku sering diolok-olok, anak pemberontak. Tapi guru-guruku sering memarahi anak-anak yang mengolokku itu. Kenapa ayahku dibilang pemberontak, ya?  Aku takut menanyakan hal ini sama Mamak, maupun Makpo. Aku takut dimarahi. Sejak Ayah menghilang sore itu, Mamak maupun Makpo tak pernah menyebut-nyebut nama Ayah lagi. Bahkan sampai Dek Agam lahir.
Sore itu kami pulang dengan tergesa-gesa. Langkah Mamak dua kali lebih cepat dari biasanya. Setengah berlari aku mengikuti langkah Mamak. Biasanya Mamak akan memanggilku setiap sebentar, begitu tahu aku tertinggal jauh di belakang. Tapi kali ini tidak. Mamak berjalan dalam diam.
Sesampai di rumah, Dek Agam sudah meraung-raung. Mamak langsung mengambilnya dan membawa ke dalam kamar. Kulihat Makpo menyusul Mamak ke dalam kamar.
Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku masih bertanya-tanya kenapa ayah tidak pulang saja ke rumah.
***
Di kampungku akan diadakan piasan malam. Kata teman-temanku, piasan itu nantinya akan diisi dengan tarian Seudati dan kibod yang didatangkan dari kota kecamatan. Dari selebaran yang kubaca di dekat kedai Cut Lem, selain Seudati dan kibod akan ditampilkan juga grup rebana dari kampungku.  
Di selebaran yang kubaca itu juga tertulis bahwa piasan itu diadakan untuk merayakan perjanjian damai. Damai antara pemberontak dengan aparat keamanan.
Sejak sebagian orang di kampungku dicap sebagai pemberontak, kampungku memang sudah tidak aman lagi. Tentara berbaju loreng sering berkeliaran dalam kampung. Dan begitu tentara berbaju loreng tidak berada di kampungku, orang-orang juga berbaju loreng, datang. Kata orang kampungku, mereka tinggal di gunung, punya senjata berbahaya, juga bendera berbahaya. Tapi sejak beberapa bulan ini, aku tak pernah melihat mereka turun ke kampung lagi.
Gardu di dekat kedai  Cut Lem  sekarang sudah jadi pos tentara berbaju loreng. Mereka setiap hari berjaga di situ. Dulu, sebelum kampungku disebut sebagai kampung pemberontak, gardu itu sering digunakan oleh lelaki di kampungku untuk bermain kartu. Kalau merasa tidak punya uang dan malas nongkrong di kedai Cut Lem, mereka nongkrongnya ya di gardu itu. 
Sekarang kampungku sudah tidak mencekam lagi seperti dulu. Kedai Cut Lem sudah mulai penuh, baik siang maupun di malam hari. Orang kampung sudah tidak takut lagi pergi menonton tivi di kedai Cut Lem, atau di rumah Pak Keuchik atau juga di rumah Makcek Ros.   Anak-anak mengaji juga sudah tidak takut lagi pulang malam. Sebelum ini, pengajian dilakukan siang hari. Itu pun dengan waktu yang tak menentu. Guru mengaji di kampungku sebenarnya bukan orang asli di kampung ini. Guru mengaji itu sering sekali pulang ke kampungnya.
Mendengar orang-orang yang mengatakan bahwa sebentar lagi  akan ada perdamaian, hatiku buncah. Aku senang sekali. Berarti sebentar lagi ayah akan pulang ke rumah. Ayah pasti  akan bahagia sekali melihat wajah lucu Dek Agam.
***
Pada malam piasan itu, rumah-rumah penduduk pasti kosong semua. Semua orang berbondong-bondong pergi ke pusat kampung. Di pusat kampung sudah berdiri pentas yang diberi lampu warna-warni. Pentas itu dibuat tidak jauh dari  kedai Cut Lem. Meskipun demikian, kedai  itu tetap ramai. Ada yang melihat piasan dari kedai Cut Lem, tak sedikit pula yang bangkit dari kedai itu dan berdiri di depan pentas. Mereka tentu tak ingin melewatkan piasan yang sangat langka ini. Meskipun acara di tivi sangat menarik, bagi mereka lebih menarik melihat menonton piasan.
Aku berangkat dari rumah bersama Mamak dan Makpo sehabis mereka shalat ‘Isya. Aku sudah tak sabar sejak magrib. Tapi Makpo tak mau pergi kalau belum shalat ‘Isya. Sudah untung juga Makpo mau pergi. Biasanya Makpo tak mau pergi ke keramaian seperti itu. Tapi karena semua orang kampung sudah berkumpul  di sana, akhirnya Makpo pergi juga. Apalagi  acara besar seperti ini sudah lama tak diadakan, sejak kampungku dicekam rasa takut. Kabarnya, orang dari kecamatan akan datang ke kampungku. 
Acara diawali dengan pidato dari Pak Keuchik lalu dilanjutkan oleh entah siapa lagi. Terakhir oleh seseorang yang disebut yang mewakili Pak Camat. Mereka selalu menyebut-nyebut kata damai sambil mengacungkan tangan tinggi-tinggi. Sesekali berteriak “Allahu Akbar”.
Setelah bapak-bapak tersebut berbicara panjang lebar, naiklah ke atas pentas segerombolan laki-laki berpakaian putih-putih dengan kain songket dipakai sepinggang sampai sebatas lutut. Mereka adalah penari seudati. Gerakan mereka lincah dan cepat.
Selesai grup seudati membawakan tarian mereka, MC mempersilakan grup rebana untuk naik ke pentas. Saat aku sedang asyik-asyiknya memandang ke atas pentas tersebut, seseorang mencolek tanganku. Aku mencari-cari.
“Hei, Ndi. Kau datang dengan siapa?” Rupanya yang mencolek tanganku tadi adalah Sahrul. Dia teman bermainku. Dia tidak mau bersekolah lagi sejak ayahnya naik ke gunung dan disebut pemberontak.
“Dengan Mamak dan Makpo,” jawabku. “Kau?” aku balik bertanya.
Dia celingak-celinguk, seperti mencari sesorang.
“Itu!” tunjuknya ke arah gardu. “Aku pergi dengan ayah.”
Aku terbelalak. Dia pergi dengan ayahnya? Benarkah?
“Kapan ayahmu balek, Rul?”
“Sudah dua minggu ini, tapi ayahku harus berurusan dulu di kecamatan. Aku tak tau urusan apa. Mulai besok ayahku sudah bisa ke ladang,” kata Sahrul semangat.
Kemudian Sahrul meninggalkanku. Sebenarnya dia tadi mengajakku untuk bergabung dengan Dedek, Is dan Saiful. Tapi aku tak mau. Mamak pasti sedang mencari-cariku. Grup rebana sudah lama tampil. Mereka sudah membawakan lima lagu. Atau enam lagu? Aku tak lagi memperhatikan grup rebana itu sejak mendengar cerita Sahrul tadi.
Malam sudah sangat larut.  Aku berlari meninggalkan Sahrul. Dan memang benar, Mamak sedang mencari-cariku. Mamak langsung menarik tanganku begitu melihatku ada di depannya. Dek Agam berada dalam gendongan Mamak. Kasihan Mamak. Pasti berat sekali. Dek Agam kan sudah agak besar. Sudah bisa berjalan. Tapi Mamak pasti takkan tega melihat Dek Agam terkantuk-kantuk.
“Mana Makpo, Mak?” tanyaku.
“Di sana!” Tunjuk Mamak ke arah jalan dekat kedai Cut Lem. Di situ sudah bergerombol orang-orang tua sebaya Makpo. Mereka duduk di pinggir jalan. Mereka tentu tak sanggup berdiri lama-lama. Mereka datang ke sini mungkin hanya untuk meramaikan piasan malam ini saja.   
 Begitu melihat aku dan Mamak, Makpo langsung bangkit. Makpo mengajak kami pulang. Sudah mengantuk katanya. Sebenarnya aku belum mau pulang, piasan ini belum berakhir meskipun hari sudah sangat larut. Masih ada musik kibod. Tapi Mamak mengancam akan meninggalkanku sendiri kalau aku tak mau pulang.
Akhirnya aku terpaksa pulang. Kalau tidak, aku akan pulang dengan siapa? Sayup-sayup aku masih masih mendengar suara musik dengan penyanyinya yang bersuara merdu itu. Kami berjalan dalam gelap.
Di kampungku memang sudah ada listrik. Tapi listrik itu hanya dipakai oleh orang-orang tertentu saja seperti Pak Keuchik, Cut Lem dan Makcek Ros. Ada juga beberapa penduduk kampung lainnya yang sudah ada listrik di rumahnya. Tapi hanya sedikit. Mereka yang rumahnya masih memakai lampu teplok seperti halnya kami, tentu lebih memikirkan bagaimana membeli beras daripada harus membayar uang  listrik. Belum lagi kalau memikirkan harus membayar ke kecamatan. Tentu butuh biaya yang tidak sedikit untuk pergi ke kecamatan.
Jalanan di sepanjang kampungku juga masih gelap gulita. Sebenarnya sudah didirikan beberapa tiang listrik sampai ke ujung kampung, tapi entah kenapa tak ada lampu yang bertengger di tiang listrik itu. Satu-satunya rumah di ujung kampung ini yang sudah berlistrik hanya rumah Makcek Ros. Berjalan lebih jauh lagi dari rumah Makcek Ros,  maka yang ditemui hanya kegelapan yang abadi.  
Makin lama, suara penyanyi kibod itu makin kecil dan akhirnya hilang sama sekali. Aku berjalan tersaruk-saruk. Jalan di ujung kampung semakin jelek dan berbatu. Aku memegang tangan Makpo, sementara Mamak masih menggendong Dek Agam.
“Mak, tadi aku ketemu Sahrul. Katanya ayahnya sudah pulang. Besok mereka akan ke ladang bersama-sama,” kataku sambil berjalan.  “Lalu,  kapan Ayah akan pulang, Mak?”
“Sabar saja. Ayahmu tak lama lagi akan pulang. Kita juga akan ke ladang bersama-sama,” jawab Mamak.
“Benarkah, Mak?” aku riang sekali. Ayah akan pulang. Horeee!!!
Mamak mengangguk. Kemudian memperbaiki kain gendongan Dek Agam yang sudah melorot.  Dek Agam nyenyak sekali tidurnya dalam gendongan Mamak.
“Benarkah, Mak?” tanyaku sekali lagi. Aku tidak puas hanya dengan anggukan. Aku ingin jawaban pasti.
“Berdoa saja semoga Ayahmu cepat pulang,” Mamak hanya mengatakan itu. Tapi  sudah cukup membuatku senang.
Kami sampai di rumah beberapa menit kemudian Aku langsung tidur di bale-bale di dalam rumah. Aku capek sekali. Beda sekali rasanya berjalan di malam hari dengan berjalan di siang hari.
“Cuci kaki dulu, Ndi,” tegur Mamak ketika melihat tubuhku ngeloyor di bale-bale. “Kakimu kotor sekali!”
Malam itu aku tertidur di bale-bale dalam rumah.  Aku letih sekali.
                                                            ***
Siang hari di musim hujan, aku duduk di beranda rumah.  Sejak hari Jumat, kami tidak pergi ke ladang. Dan sekarang hari kamis. Sudah seminggu kami hanya menghabiskan waktu di rumah saja. Kata Makpo, kalau hujan pertama dimulai pada hari Jumat, biasanya hujan akan  turun lama, bisa sampai seminggu. Aku tidak percaya. Meskipun kenyataannya memang benar. Sudah beberapa hari ini, hujan tak mau reda. Kalau pun reda, paling hanya sebentar lalu hujan akan turun lagi. Mamak dan Makpo tidak bisa ke ladang. Di musim hujan begini memang jarang orang pergi ke ladang. Hujan menganggu pekerjaan mereka. Tanah pasti becek sekali.
Sekarang sudah bulan Oktober. Kira-kira sudah tiga bulan berlalu sejak diadakanya piasan  malam itu.  Tapi ayahku belum juga pulang. Sebentar lagi puasa akan tiba. 
Seingatku dulu, setiap kali menjelang puasa, Ayah dan Mamak menjadi sangat sibuk. Ayah pergi ke hutan mencari batang-batang bambu. Batang bambu yang di potong sepanjang kira-kira satu meter itu akan digunakan  untuk membuat lemang. Orang kampungku selalu membuat lemang untuk hari meugang puasa. Sehari sebelumnya Ayah ke pekan. Membeli beras ketan, daging lembu dan makanan yang enak-enak.
Menjelang lebaran, Ayah  membelikanku baju baru. Hanya sebuah baju dan celana. Tapi aku senang sekali. Baju itu kupakai sampai dua hari. Setelah sholat Idul fitri berjamaah, Ayah mengajakku berkeliling kampung, mendatangi rumah-rumah penduduk.   Aku senang sekali diajak oleh Ayah. Aku bisa memakan kue  lebaran yang lezat-lezat di setiap rumah. Baju baruku selalu berkantong. Setiap keluar dari satu rumah, kantongku selalu penuh dengan bermacam-macam kue. Aku paling suka kacang tojin. Aku malu kalau makan kue banyak-banyak di rumah orang. Maka aku mengambilnya dengan tanganku penuh-penuh dan memasukkannya ke dalam kantong.  Begitu melihat tingkahku begitu, Ayah selalu menegurku.
 “Ndi! Ayo, makan siang dulu, Nak,” tiba-tiba Mamak sudah berdiri di ambang pintu. Hujan belum reda. Titik-titiknya semakin deras. Air jatuh dari atap rumbia rumah kami. Membuat tanah di bawahnya berlubang semakin dalam. Parit kecil  di samping rumah sudah penuh dengan air yang berwarna kekuningan.
Hari ini Mamak memasak ikan tongkol. Ikan tongkol pemberian Wak Din, penjual ikan yang katanya baru saja mendapat lotre.  
“Ayolah, Nak! Makan dulu, nanti perutmu sakit. Sudah sejak pagi kamu belum makan,” Mamak membujukku.
Aku masih bersidekap di beranda ini. Aku kedinginan, rasanya sampai ke tulang. Aku ingin sekali makan ikan tongkol. Tapi aku teringat Ayah. Aku kembali mengulang pertanyaan yang sama pada Mamak,
“Mak, kenapa Ayah belum pulang juga?”
***
Selesai

                                                                                   
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Previous
Next Post »

12 comments

Write comments
Khaira
AUTHOR
31 Januari 2014 pukul 08.12 delete

Cerpen pertama kakak yang Khaira baca sebelum kenal dengan penulisnya... awalnya ga yakin ini orang Aceh, haha

Reply
avatar
31 Januari 2014 pukul 13.08 delete

gak yakinnya kenapa Khaira, hahaaa

Reply
avatar
Azhar Penulis
AUTHOR
31 Januari 2014 pukul 22.49 delete

Udah selesai baca. Enak kali lah ceritanya. Setting nya dapat kali suasana Aceh-nya. Kita buat drama yok, panggil anak-anak GIB (hehehe).

Reply
avatar
31 Januari 2014 pukul 23.39 delete

Wah, kayaknya asik kalo dibuat drama. Boleh..boleh..saya kasih cerpennya, Azhar mau jadi penuls skenarionya nggak? sy gak bisa nulis skenario soalnya :D

Reply
avatar
3 Februari 2014 pukul 19.07 delete

wow, panjang sekali ceritanya, tapi tak bosan membacanya. Kereeen, Eki. Mantap li... :)

Reply
avatar
3 Februari 2014 pukul 19.23 delete

iya kak, agak lumayan panjang untuk sebuah cerpen. 15 halaman :D

Reply
avatar
Unknown
AUTHOR
4 Februari 2014 pukul 08.11 delete

beruntungnya punya buku "Meusyen" (y)

Reply
avatar
4 Februari 2014 pukul 13.16 delete

beruntungnya lagi karna dapat gratis ya bang :p

Reply
avatar
Riawani Elyta
AUTHOR
1 Desember 2015 pukul 11.01 delete

Pantes bacanya panjang terasa....15hal rupanya. Hehe. Berarti itu ayahnya anggota Gam ya mbak?

Reply
avatar
Awak Davi
AUTHOR
31 Mei 2018 pukul 14.15 delete

Nyasar kesini gara-gara mau bikin tulisan dengan judul yang sama kak :D
makasih kak, cerpennya bagus

Reply
avatar
Cut sarah
AUTHOR
8 Februari 2019 pukul 03.33 delete

Suka banget samaa cerpennya. Jadi teringat masa masa GAM dI ACEH😫

Reply
avatar

Instagram @fardelynhacky