Gambar: mejaranjau.wordpress.com |
Pola
konsumsi manusia dimulai sejak manusia hadir di bumi. Mengonsumsi makanan
diperlukan untuk kelangsungan hidup. Di jaman purba, masyarakat hanya
mengandalkan mendapatkan makanan dari berburu kemudian memakannya. Pada era
berikutnya, mereka menemukan berbagai rempah-rempah dari alam sekitarnya, lalu
mencoba membuat ‘ramuan’ (kalau sekarang, kita menyebutnya bumbu) untuk hasil
berburu mereka agar makanan tersebut lebih bisa dinikmati dibanding
sebelumnya. Sedikit lebih maju ketika
masyarakat mulai mengenal cara bercocok tanam (bertani). Boleh dibilang, pola
konsumsi dengan cara bercocok tanam merupakan cara yang paling lama bertahan.
Mulai dari yang paling tradisional (tanpa alat) sampai dengan menggunakan alat
bertani seperti parang, cangkul, sabit, dan lain-lain. Bercocok tanam memang masih
bertahan sampai di era modern, hanya
saja, cara-cara bertani saat ini sudah lebih modern dengan menggunakan
teknologi. Begitu pula halnya dengan pengolahan makanan dan gaya mengonsumsi
makanan. Dulu, orang-orang tua di kampung, rela menghabiskan waktu berlama-lama
di dapur; berada dalam asap yang mengepul, menggiling bumbu masak dengan menggunakan
batu gilingan, memasak dengan tungku kayu, mengukur kelapa dengan alat kukuran
tradisional, dan lain-lain. Beberapa tahun kemudian, teknologi hadir memanjakan
para ibu-ibu dan juru olah makanan. Kita bisa memasak lebih cepat karenanya. Namun
manusia kadang suka merasa tidak puas, mereka ingin sesuatu yang lebih cepat
lagi. Maka kini hadirlah makanan-makanan instan, makanan-makanan cepat saji;
yang menawarakan tampilan menggiurkan namun sama sekali tidak menyehatkan.
Indonesia
boleh bangga saat salah satu makanan terkenal dari Indonesia, Rendang,
disebut-sebut sebagai makanan paling enak di dunia. Saat ini, Rendang masih
saing-saingan dengan Massaman Curry, makanan kari dari Thailand, yang
juga disebut-sebut sebagai makanan terenak di dunia. Pada dasarnya, Massaman
Curry hampir sama dengan Rendang. Hanya saja terdapat beberapa bumbu yang
sedikit berbeda. Namun buat saya yang kurang menyukai bumbu-bumbu selain bumbu
Indonesia, Rendang tetap is the the best, citarasa yang tiada
duanya.
Namun
mirisnya, saat salah satu makanan Indonesia dinobatkan sebagai makanan terenak
di dunia, yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Akibat gempuran arus
globalisasi, pola dan gaya hidup
masyarakat Indonesia sudah bergeser. Pergeseran pola dan gaya hidup ini paling
nyata terlihat pada masyarakat yang tinggal di kawasan perkotaan. Salah satu
perubahan gaya hidup ini adalah pola makan, termasuk di dalamnya bagaimana
memilih tempat makan dan jenis makanan yang dikonsumsi. Saat
ini, kecenderungan masyarakat perkotaan adalah mengonsumsi makanan-makanan
impor yang disajikan di restoran-restoran berkelas Amerika dalam bentuk makanan
cepat saji (fast food) telah meningkat secara signifikan. Bahkan
akhir-akhir ini, pola hidup seperti ini sudah menular ke masyarakat yang
tinggal di pedesaan, terutama di kalangan generasi muda.
Gambar: perempuan.com |
Di
pihak lain, kecintaan masyarakat terhadap makanan tradisional Indonesia, mulai
menurun.
Makanan tradisional dianggap tidak keren dan kampungan sehingga banyak yang
memilih restoran-restoran cepat saji sebagai tempat jajan, tempat kongkow,
tempat meeting, tempat reunian, bahkan tempat merayakan ulang tahun
anak. Sejak kecil, anak-anak Indonesia di perkotaan sudah diperkenalkan dengan
makanan impor ketimbang makanan hasil olahan negeri sendiri. Sehingga jangan
heran, jika anak-anak di perkotaan pun, gaya hidupnya sudah sama seperti orang
dewasa. Anak-anak lebih banyak tahu makanan impor dibanding makanan tradisional
peninggalan lelulur, sementara banyak dari jenis makanan tradisional yang
bahkan nyaris dilupakan keberadaannya. Di daerah saya, Aceh, contoh makanan
tradisional yang mulai dilupakan, boleh saya sebut salah satunya adalah Limpeng.
Saya terakhir memakan makanan itu waktu saya masih sekolah dasar, lebih dari 25
tahun lalu, ketika saya beserta keluarga masih tinggal di kampung. Limpeng
adalah makanan yang terbuat dari sagu dicampur dengan kelapa dan pisang.
Makanan ini dijadikan pengganti sarapan atau makan malam karena sifat sagu yang
mengenyangkan sebagaimana halnya beras. Cara memasaknya sangat tradisional;
dibakar di atas wajan atau lempengan besi, biasanya dibakar menggunakan tungku
kayu. Limpeng ini berbentuk
seperti kulit Pizza, hanya saja tanpa topping,. Dahulu, di kampung saya,
Limpeng ini sempat disebut-sebut sebagai Pizza kampung. Jadi kalau orang
kampung ingin makan Pizza, buat saja Limpeng, hahaa.. Lebih murah,
bahannya mudah didapat karena menggunanakan bahan pangan local yaitu sagu.
Namun
kini, makanan tradisional asal Aceh ini sepertinya akan tinggal kenangan.
Pertama karena memang tidak ada padagang makanan yang menjual Limpeng. Setahu saya, makanan
ini hanya makanan yang diolah di rumah tangga untuk konsumsi sekeluarga di
kampung-kampung. Kedua, sekarang orang sudah jarang memasak dengan kayu
sehingga bahkan orang-orang yang masih tinggal di kampung pun enggan membuat limpeng.
Ketiga, karena pergeseran pola konsumsi masyarakat itu sendiri, di mana
masyarakat lebih memilih makanan yang telah disajikan dengan manis di
restoran-restoran mahal. Padahal dalam kesederhanaan Limpeng, terdapat
rasa gurih dan manis yang alami dari kelapa, sagu, dan pisang. Sayang sekali saya tidak punya fotonya,
bahkan saya cari di Google pun tidak ketemu. Boleh dikatakan, Limpeng termasuk salah satu makanan di daerah
saya yang nyaris punah keberadaannya.
Kembali
lagi ke topik tentang pergeseran gaya hidup. Sebenarnya, masyarakt kita sudah
tahu kok kalau makanan-makanan instan dan cepat saji tersebut termasuk junk
food, sudah banyak tulisan dari media-media dan buku-buku kesehatan yang
menuliskan tentang ini, tapi tetap saja didatangi karena tempat-tempat tersebut
lebih mewah dan berkelas. Bandingkan jika makan di pedagang kaki lima, yang
penjualnya hanya memanfaatkan tempat di pinggir jalan, halaman ruko,
lorong-lorong sempit, gerobak dorong, kursi kayu panjang atau bahkan tak ada
tempat duduk sama sekali karena tidak melayani pembeli yang makan di tempat,
yang kesemuanya memiliki kesan kumuh dan kampungan.
Meskipun
saat ini berbagai penyakit infeksi dan kekurangan gizi bisa ditekan, namun
sebaliknya, penyakit-penyakit degeneratif seperti sakit jantung, diabetes, kanker, osteoporosis, dan lain-lain
semakin meningkat. Salah satu penyebab penyakit degenaratif adalam terlalu
banyak mengonsumsi makanan tinggi lemak jenuh, tinggi gula, rendah serat,
rendah zat gizi, sehingga menyebabkan kegemukan, meningkatnya radikal bebas
dalam tubuh sehingga memicu terjadinya penyakit degeneratif. Sementara di
negara asalnya, makanan-makanan tersebut sudah tidak dikonsumsi lagi. Makanya
disebut Junk Food atau makanan sampah, yang berarti bahwa makanan
tersebut tidak untuk membuat tubuh sehat melainkan untuk menumpuk penyakit.
Sedikit demi sedikit, lama-lama jadi bukit, begitu kata pepatah lama, hehee...
Dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama, yang sedikit tadi akhirnya menjadi
bumerang bagi tubuh.
Padahal,
jika ditilik lebih detail pada aneka ragam makanan tradisional Indonesia, cita
rasa makanan Indonesia sendiri tidak kalah dengan makanan impor yang dijual di
restoran-restoran cepat saji. Secara nilai gizi, jika melihat bahan dasar
olahan jajanan, tentu saja jajanan Indonesia lebih tinggi nilai gizinya. Diolah
dari pisang, dari sukun, labu, ketela, singkong, ubi jalar, tepung beras,
tepung ketan, santan kelapa, sayur-sayuran, yang semuanya berasal dari alam
Indonesia, dijual di pasar-pasar tradisional, dan bahan-bahan tersebut pun
tersedia di hampir seluruh penjuru Indonesia.
2 comments
Write commentswahhh harus diubah lagi nih mak, pola makan nya
Replyiyapp biark gk makin melar
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon