Foto: weheartit.com |
Suatu siang di musim kemarau...
Hari itu sangat panas. Ruangan kecil berukuran 3x6 meter, tempat tiga anak muda sedang melepas lelah, tak lagi sanggup menawarkan kesejukan yang selalu dirasakan selama ini, meskipun kipas angin sudah dihidupkan sampai sekencang-kencangnya. Ruangan yang dindingnya dicat dengan tiga jenis warna itu memang masih terlalu sederhana. Cat dinding ruangan itu aneh, kata orang-orang. Di sebelah dinding yang panjang catnya berwarna orange dan hijau, semntara di bagian lebarnya pink. Sungguh sebuah perpaduan warna yang bikin sakit mata. Selain sebuah kipas angin besar yang berdiri dengan manisnya di samping sebuah komputer, ruangan ini juga selalu mengandalkan AC sebagai pendingin ruangan. Itu lho, Angin Cepoi-cepoi.
Tiga anak muda tadi sedang duduk lesehan dalam ruangan tersebut. Tak ada gairah. Keringat berleleran. Ketiganya kelihatan seperti orang yang tak dapat jatah makan siang.
”Ki, aku udah tujuh bulan…” Arif memulai pembicaraan. Dua temannya, Ferhat dan Eki kaget, lalu melihat serentak melihat ke arah Arif.
“Rif, siapa yang….?” Eki ingin bertanya lebih lanjut tapi dia tak sanggup meneruskan.
“Iya, Rif. Kamu harus bilang siapa orangnya? Dia harus bertanggung jawab, Rif. HARUS! Apapun caranya!” Ferhat terlihat emosi.
Pandangan Arif menerawang jauh. Sangaaaat jauh. Sampai menembus dinding bercat orange pada salah satu sisi dalam ruangan tersebut. Dan....duaaarrr!!! Brakkk!!! Entah karena begitu kuatnya pandangan Arif, tiba-tiba dinding roboh.... dalam khayalan Arif.
“Bukan siapa-siapa. Ini…ini salah Arif sendiri…” Arif tiba-tiba sendu. ”Salah Ariiiif...hiks...hiks...” mata Arif terlihat memerah, berusaha membendung airmata yang sedari tadi ingin keluar. ”Arif...Arif...hiks...sudah tidak sanggup lagi. Arif ingin lepas dari semua penderitaan ini. Tolong Arif...” Arif memelas.
Eki hanya melihat Arif. Dia tidak bisa berbuat apa-apa, sementara Ferhat menepuk-nepuk pundak Arif. ”Apa yang terjadi padamu, Rif? Katakanlah pada kami.” Ferhat bertanya dengan sok bijak. Eki mengiyakan. Kepalanya mengangguk lambat-lambat, selambat caranya makan nasi.
Arif terlihat berusaha mengumpulkan kata-kata dan berkata lagi, ”Arif...Arif...sudah tujuh bulan...menopause!”
”Duuuh, Arif. Begitu berat penderitaanmu,” Ferhat mengasihani.
”Ki, taukah kau kalau sekarang Arif sudah tidak bisa memproduksi lagi? Rasanya Arif malu sekali. Malu sama kalian, terlebih lagi sama Ali. Tak ada lagi karya yang Arif hasilkan. Padahal cerpen Arif sudah pernah dimuat di majalah nasional. Dua kali. Arif pikir ketika karya Arif sudah dimuat di media lalu Arif akan benar-benar jadi penulis. Arif salah. Arifa kalah. Karena Arif merasa cepat puas dan merasa cukup sampai di situ. Lebih baik..lebih baik.. Arif jadi pak guru aja.”
Ferhat tiba-tiba menunduk.
Pandangan Eki berpindah ke Ferhat. “Hei, elo kenapa?’
“Gue…gue sebenarnya juga udah…menopause sejak…sejak gue kerja di bank.” Ferhat menunduk semakin dalam.
“Duhai…ada apa ini? Tolong.... toloonggg... meooonggg”
Arif dan Ferhat saling berpandangan dan berkata hampir bersamaan, ”KUCING???”
The End
ConversionConversion EmoticonEmoticon