Vincero! 12 Menit untuk Selamanya!



Gambar: Goodreads.com


Judul Buku              : 12 Menit
Penulis                      : Oka Aurora  
Tebal                          : xiv + 348 halaman
Penerbit                      : Noura Books
Tahun terbit             : Mei 2013
 ISBN                         : 979-602-7816-33-6

Kisah anak-anak daerah –yang jauh dari hiruk pikuk Jakarta–  selalu menarik untuk ditulis. Andrea Hirata jadi melejit ketika menulis tentang sekumpulan remaja Belitong yang punya mimpi menggapai langit. A. Fuadi menjadi booming ketika menulis tentang pemuda-pemuda yang –pada dasarnya juga berasal dari daerah– punya mimpi menggapai langit yang sama. Ditambah dengan adanya deskripsi setting yang mungkin sebelumnya tidak pernah/jarang didengar oleh khalayak, maka kehadiran buku-buku dengan tema meraih mimpi tiba-tiba saja memenuhi atmosfer perbukuan Indonesia.  

Oka Aurora, seorang penulis skenario pandai menangkap atmosfer ini. Dia meramu cerita semangat anak-anak muda dari daerah industri di Bontang, Kalimantan Timur, dalam meraih mimpi. Sebagaimana novel-novel sebelumnya yang berangkat dari kisah nyata yang kemudian dibuat novel, saya berasumsi bahwa novel ’12 Menit’ juga berangkat dari secuil kisah nyata. Siapa yang mengalami secuil kisah nyata ini dulunya, itu tidak penting. Yang penting adalah bahwa Marching Band Pupuk Kaltim Bontang nyata adanya.
Marching Band Pupuk Kaltim Bontang adalah marching band yang berada di bawah naungan PT. Pupuk Kalimantan Timur. Sejak tahun 1990, grup marching band ini sudah aktif mengikuti berbagai kompetisi tingkat nasional. Salah satu kompetisi terbesar dan terkenal se-Indonesia adalah GPMB (Grand Prix Marching Band). Saat itu,  grup marching band daerah seolah hanya sebagai peserta yang sekadar ikut saja, karena tak pernah menang. Sampai pada tahun 1994,  Marching Band Pupuk Kaltim Bontang akhirnya bisa mengalahkan grup-grup asal ibukota. Pertama dalam sejarah kompetisi Marching Band Indonesia, anak daerah mengalahkan anak-anak ibukota. Bukan itu saja, merekapun menjadi juara umum nasional karena di tahun-tahun selanjutnya, merekalah pemenangnya. Prestasi besar dan mimpi meraih kemenangan di ibukota inilah yang melatarbelakangi penulisan skenario film 12 Menit. Ya, sebelum skenario tersebut menjadi film, cerita ini telah terlebih dahulu diterbitkan dalam bentuk novel, tentunya dengan judul yang sama.  
Ini paket komplit sebenarnya. Satu, karena mengangkat kisah nyata yang menginspirasi. Dua, menjadikan tema ‘mimpi’ sebagai inti cerita. Tiga, bertujuan untuk memotivasi anak-anak daerah bahwa dengan segala keterbatasan, ‘mereka juga bisa’, sebagaimana anak-anak di ibukota. Empat, kisahnya difilmkan, sebagaimana kisah-kisah based on true story sebelumnya.  Itulah poin penting yang membuat novel-novel based on true story selalu diburu dan laris manis di dunia perbukuan Indonesia. Yang berbeda pada ’12 Menit’, naskah ini awalnya adalah skenario film yang dibukukan. Jadi wajar jika pada sampul bagian dalam, depan dan belakang buku ini, terpampang secara nyata beberapa adegan film dengan menampilkan tokoh-tokohnya dengan manis. Ya, sembari menunggu filmnya selesai, naskah skenario itupun menjadi novel.
***
Adalah Rene, lulusan sekolah musik di Amerika, jebolan sebuah grup Marching Band tersohor bernama Phantom Regimen, menjadi pelatih untuk Marching Band Pupuk Kaltim, Bontang, Kalimantan Timur. Kehadiran Rene, yang ambisius dan memiliki pendirian yang teguh ingin membuat anak-anak Bontang menjadi juara, membawa angin segar bagi perubahan Marching Band daerah ini.
Meski Rene digambarkan sebagai seseorang yang keras kepala dan sedikit emosional, namun lewat tokoh Rene-lah petuah-petuah bijak berhamburan di hampir sepanjang halaman buku ini. Rene berhasil mematahkan pendapat Pak Manajer yang sama keras kepala dengannya. Petuah Rene ‘Stop Thinking Start Feeling’ berhasil menyadarkan Tara, anak didik Rene, bahwa kekurangannya bukan untuk diratapi. Ketegasann Rene membuat Elaine sang Field Commander juga ikut tegas menentukan sikap atas pilihannya meski kemudian harus berhadapan dengan ayahnya yang keras kepala. Nasehat lembut Rene untuk Lahang yang menghadapi dilema harus berangkat ke Jakarta atau tidak ketika melihat ayahnya berada di ambang kematian. Puncaknya, Rene berhasil membuat Ayah Elaine bertekuk lutut dan tunduk pada kemauannya. Nyaris semua konflik dan persoalan yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam novel ini bisa dipatahkan oleh Rene lewat kekuatan petuah-petuahnya serta kegigihannya. Ya, petuah-petuah itulah, yang selalu didengung-dengungkan, diulang-ulang sampai anak didiknya bosan, yang kemudian membuat Marching Band ini berhasil menjadi juara umum pada GPMB (Grand Prix Marching Band) yang diadakan di Istora Senayan, Jakarta. Ya, Jakarta adalah mimpi besar bagi anak-anak Bontang. Lihat saja Lahang, bagaimana sangat besar keinginannya bisa melihat Monas sejak kecil, sejak ibunya memberinya sebuah foto bergambar Monas.
Sebagai novel yang diadaptasi dari skenario, Oka Aurora berhasil memadukan unsur-unsur instrinsik sebuah fiksi hingga novel ini terasa hidup. Mungkin akan berbeda jika kisah ini disajikan ke hadapan kita ketika masih dalam bentuk skenario. Mungkin akan berbeda juga seandainya buku ini terbit justru setelah filmnya beredar. Faktanya, yang saya dapati selama ini adalah terasa agak membosankan ketika membaca buku-buku yang diangkat dari film, film yang sudah jadi dan siap tonton. Saya sendiri jarang membeli novel-novel seperti itu. Namun ketika membuka halaman depan novel ini dan menemukan endorsment keren dari orang yang mumpuni di bidang fiksi, saya pun tergerak untuk membelinya. Dan akhirnya saya harus mengatakan bahwa buku ini highly recommended buat kalian yang ingin banyak tahu tentang dunia Marching Band, ingin mendapat ‘petuah’ untuk sebuah motivasi yang sama dalam meraih mimpi, atau ingin melihat bagaimana seorang penulis skenario berhasil memindahkan skenarionya dalam bentuk novel serta meramu konflik dengan sangat ciamik.
Satu perumpamaan keren yang saya suka dari novel ini, ketika adegan Kakek Tara memberi petuah untuk cucu semata wayangnya itu.
“Kadang-kadang hidup itu kayak gitu, dek. Kayak dorong mobil di tanjakan. Susah, berat, capek. Tapi kalau terus didorong, dan terus didoain, Insya Allah akan sampai. Kamu harus dorong sampai lewat tanjakan karena kalau kamu berhenti di tengah jalan, mobilnya bakalan turun lagi.” (Halaman 160)
Ya, hidup siapa yang tidak pernah jatuh? Hidup siapa yang tidak pernah ‘mogok’ dan berhenti pada satu titik? Tapi ketika kau kembali bangkit dan berjalan, lalu ketemu tanjakan di depan sana, kau harus terus mendaki dengan sekuat tenaga. Kalau tidak, kau akan jatuh kembali ke lubang yang sama.*

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba menulis resensi novel 12 Menit, Penerbit Nourabooks. 

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Previous
Next Post »

5 comments

Write comments
Azhar Penulis
AUTHOR
17 Desember 2013 pukul 21.03 delete

Jalinan mimpi 12 menit ...

Mau dong, bacaaa .....

..... :)

Reply
avatar
Anonim
AUTHOR
17 Desember 2013 pukul 21.27 delete

"Kadang-kadang hidup kayak dorong mobil di tanjakan. .." Closing yang menggunting pikiran pembaca. :D Dua paragraf terakhir menunjukkan betapa menariknya film '12 Menit' itu.

Reply
avatar
19 Desember 2013 pukul 22.20 delete

Azhar:
yok baca :D

Makmur:
ya, itu yang terakhit pun saya yang nambahin sendii, xixixiiii...

Reply
avatar
writer
AUTHOR
23 Desember 2013 pukul 16.08 delete

jadi pengen baca nih ...

follow blog saya ya gan ..
http://infoejaman.blogspot.com
:)

Reply
avatar
23 Desember 2013 pukul 22.09 delete

Terima kasih ya atas kunjungannya ;)

Reply
avatar

Instagram @fardelynhacky