Judul Buku : CineUs
Penulis
: Evi Sri Rejeki
Tebal
: xvi + 280 halaman
Penerbit :
Noura Books
Tahun terbit :
Agustus 2013
ISBN : 978-602-7816-56-5
Sejak
awal kehadirannya, penerbit Nourabooks (dulu namanya Lingkar Pena Publishing
House) memang concern menerbitkan fiksi bergenre remaja atau fiksi
popular, khususan fiksi islami. Seiring perkembangannya, penerbit ini pun sudah
bermetaformosis. Tak hanya berubah dengan nama yang berbeda, buku-buku yang mereka terbitkan juga sudah
bervariasi. Meski demikian, fiksi remaja tetap menjadi salah satu lini buku
andalan penerbit ini. Ya, kita tak bisa menampik bahwa remaja adalah sasaran
pembaca yang paling dominan dalam tataran pembaca buku Indonesia. Mungkin,
didorong atas kondisi tersebut, Nourabooks kemudian membuat lini khusus dalam
menerbitkan buku-buku remaja. Yang terbaru adalah lini S-Club Series. S-Club
Series adalah novel-novel yang bercerita tentang seru-seruan di klub-klub
sekolah. Ada klub film, klub olahraga, klub buku, dan banyak lagi; dan, novel CineUs
adalah buku pertama dari S-Club Series ini.
Dunia
remaja dengan segala dinamikanya memang selalu menarik untuk ditulis. Percintaan,
persahabatan, persaingan, seru-seruan di sekolah, hubungan dengan orang tua,
dan banyak dinamika lainnya yang mengemuka. Penulis mesti jeli menangkap
dinamika tersebut dan meramunya menjadi cerita dengan satu kesatuan yang utuh.
Melalui CineUs, penulis berhasil memotret ragam dinamika dunia
remaja yang penuh dengan semangat dan tantangan.
***
Sebetulnya
saya sudah lama meninggalkan bacaan bergenre teenlit. Bukan karena tidak suka, justru sebaliknya, fiksi
teenlit termasuk bacaan favorit saya dulu, ketika saya belum menjadi
emak-emak seperti sekarang. Ini terjadi
lebih karena; akses untuk mendapatkan buku-buku teenlit sudah
mulai berkurang, usia yang sudah tak muda lagi, waktu dan kesempatan membaca
yang semakin sempit apalagi sejak saya punya anak, dan… semakin ke sini, bacaan
teenlit semakin tidak menarik. Beberapa ditulis dengan tema yang itu-itu
saja (tema percintaan di kalangan remaja) namun tanpa eksekusi yang memikat. Jika
ditanya, lebih suka mana, teenlit terjemahan atau teenlit Indonesia?
Tentu saya suka keduanya. Tak bisa dibandingkan. Di tanah air, saya masih ingat beberapa bacaan teenlit
yang pernah saya suka. Saya masih mengingatnya bertahun-tahun kemudian, tentu
saja karena teenlit-teenlit tersebut meninggalkan kesan mendalam
buat saya. Sampai saya meninggalkan bacaan teenlit. Sampai kemudian saya
menemukan CineUs, novel teenlit besutan penerbit
Nourabooks.
CineUs
saya dapatkan justru ketika saya tidak sedang berada di tanah air. Atas
kebaikan seorang teman, buku ini dikirim (melalui suami saya) untuk saya yang
saat ini sedang menuntut ilmu di negeri-nya raja Bhumibol Adulyadej. Dengan
suka cita saya menerimanya, dan taraaaa… I love to read this book, tak
mau berhenti setelah ketemu titik serunya. Apalagi saya menyukai jalinan chemistry
of love yang terjadi antara Lena dan Rizki. Manis, seperti gula palem. Tapi
tetap saja, dengan beberapa catatan yang akan saya tulis belakangan.
CineUs
(dibaca sineas) hadir di tengah-tengah kebosanan
saya akan bacaan teenlit yang terbit akhir-akhir ini namun tak lagi
memikat saya. Apa yang berbeda? Apakah ceritanya yang luar biasa?
Hohoho…sama seperti tema-tema umum teenlit lainnya, tema cinta dan
persahabatan masih dominan dalam novel ini.
Desain kover sampul terlihat sederhana namun maknanya dalam. Dari cover saja, ini
sudah menunjukkan ke pembaca bahwa buku ini akan bercerita sedikit atau banyak
tentang dunia film. Lebih dari itu, buku ini juga akan memotivasi pembaca,
khususnya remaja, untuk tidak takut meraih mimpi. Bukankah remaja selalu punya
gejolak ketika dihadapkan pada mimpi-mimpi yang mereka punya? Hal itulah yang
terekam dalam novel setebal 280 halaman ini.
CineUs
bercerita tentang sekelompok remaja pecinta dunia film. Mereka adalah Lena, Dania, dan Dion. Klub film ini bernama
Klub Film. Sayang sekali, Klub Film yang mereka dirikan sama sekali tidak
mendapat tanggapan positif dari siswa-siswa di sekolah mereka. Yang bergabung
dengan mereka hanya anak-anak kelas junior. Konflik dimulai ketika pertama kalinya
klub film dibentuk, majalah sekolah mereka malah memuat berita picisan tentang
Klub Film. Dari sinilah semua bermula. Cerita berlanjut ketika Klub Film
mendapat cemoohan dari banyak siswa hingga cerita saat Lena mendapat tantangan
dari mantan pacarnya, Adit, untuk mengikuti kompetisi Festival Film Remaja
Indonesia (FFRI) di Jakarta. Sebenarnya Lena ogah melayani mantan pacarnya yang
rada gila itu, namun karena sudah tidak tahan lagi dengan isi twit-twit Adit
yang terus menerus menyudutkannya, akhirnya Lena ikut juga dengan taruhan yang
ditawarkan Adit. Lena mulai merancang rencana, mengajak rekan-rekannya membuat
film untuk kompetisi tapi tidak memberitahu tujuannya pada teman-temannya.
Cerita
berlanjut ketika salah seorang dari anggota Klub Film, Romi, berkhianat dan
memecah belah klub tersebut. Akibatnya, Klub Film hanya dijalani oleh Lena,
Dania, dan Dion saja. Di tengah keputusasaan, muncul seseorang yang tak
terduga. Seseorang yang selama diharapkan kehadirannya oleh Lena, untuk
menolong Klub Film yang hampir kolaps. Dia adalah Rizki, yang jago dalam bidang
storyboard animasi, seorang creator sekaligus film director
dari sebuah web series terkenal. Beruntungnya lagi, Rizki datang tak
hanya sendiri, dia juga membawa temannya, Ryan, yang jago menggarap backsound
sebuah film. Nah, justru dengan hadirnya
dua orang belakangan ini, Klub Film semakin terintimidasi oleh ulah Romi, juga
masalah-masalah yang hadir belakangan, termasuk salah satunya adalah masalah
cinta. Yup, cerita remaja dan cerita bergenre apapun dari belahan dunia
manapun, tak lengkap rasanya tanpa dibumbui kisah cinta. Rizki yang mati-matian
jatuh cinta pada Lena, harus mengalami kekecewaan ketika mengetahui kenyataan
bahwa Lena telah mencuri naskah skenarionya. Fatalnya lagi, naskah tersebut menjadi juara
pada kompetisi FFRI, menang atas nama Lena, bukan atas nama Rizki. Bagaimana
ini bisa terjadi? Bukankah Lena dan Rizki saling menyukai, lalu kenapa harus
ada tragedi ini? Apa yang kemudian terjadi pada mereka berdua? Lalu bagaimana
dengan kelangsungan klub film mereka? Kayaknya kalian harus baca bukunya ya,
temukan sendiri bagaimana Lena mengatasi semua mengatasi masalah yang menimpa Klub
Film, juga masalah cintanya dengan Rizki.
Dalam
buku ini, tidak ada kepingan puzzle yang akan membuat pembaca deg-degan,
namun intrik-intrik yang dihadirkan CineUs akan membawa pembaca
ke ‘lorong-lorong’ cerita yang tak terduga. Ibarat menonton film, semua
potongan cerita tersaji secara runut dan detail. Membuat penonton (pembaca)
diajak bertualang dari satu scene ke scene lainnya. Cerita
berjalan dengan alur maju yang rapat. Sedikit flashback adalah saat Lena
teringat bagaimana dulu hubungannya dengan Adit yang berjalan manis namun harus
berakhir dengan cara yang tragis.
Saya
suka istilah-istilah seperti blok poros,
negara sekutu, dan negara jajahan sebagai penamaan untuk masing-masing kelas. Kelas
senior (kelas 3) disebut blog poros, kelas dua disebut negara sekutu, selebihnya
adalah anak-anak kelas satu dan kelas dua yang tidak top di sekolah, masuk
dalam golongan negara jajahan. Jadi yang namanya ‘perang dunia’ bisa saja
terjadi di sekolah ini. Penguasanya tentu saja dari golongan blog poros. Lucu, yak!
Penulis juga kreatif membuat kalimat judul per chapter yang semuanya diawali dengan kata ‘who’. Tentu ini upaya yang tidak mudah agar semuanya terlihat ‘kompak’. Meski demikian, entah kenapa saya agak kurang suka dengan penamaan ‘Chapter’? Kenapa tidak ‘Bab’ saja, atau ‘Bagian’, misalnya? Bukan apa-apa, kalau melihat kata ‘Chapter’, saya langsung terbayang thesis yang sedang saya garap, hahaa…
Penulis juga kreatif membuat kalimat judul per chapter yang semuanya diawali dengan kata ‘who’. Tentu ini upaya yang tidak mudah agar semuanya terlihat ‘kompak’. Meski demikian, entah kenapa saya agak kurang suka dengan penamaan ‘Chapter’? Kenapa tidak ‘Bab’ saja, atau ‘Bagian’, misalnya? Bukan apa-apa, kalau melihat kata ‘Chapter’, saya langsung terbayang thesis yang sedang saya garap, hahaa…
Membaca
buku ini, memberi sedikit gambaran pada saya tentang bagaimana seluk beluk
dunia film. Meski Klub Film hanya sebuah klub film junior, bukan klub film yang
digerakkan oleh orang-orang yang mumpuni di dunia perfilman, namun sebagai anak
kampung yang dulu bersekolah di SMA kampung, yang kegiatan ekstrakurikuler
sekolah saya dulu hanya kegiatan tari (untuk perempuan) dan olahraga (untuk
laki-laki dan sebagian perempuan), saya cukup dibuat ‘wow’ dengan adanya klub
film sekolah sebagai tema novel ini. Apalagi klub tersebut eksis awalnya justru
bukan inisiatif dari pihak sekolah, melainkan permintaan anak-anak yang hobi
menekuni bidang ini. Membayangkan bagaimana Lena cs berjuang mendapatkan ijin
mendirikan klub, memperjuangkan semuanya dari nol, mempertahankan klub mereka
yang nyaris goyah, dan akhirnya membuat besar nama klub karena memenangkan
kompetisi tingkat nasional, sungguh bukan kerja yang mudah. Salut untuk
remaja-remaja ini. Semangat mereka luar biasa!
Harus
saya akui, ekspektasi saya terhadap buku ini tidak sebesar ketika saya melewati
bagian yang mulai klik dengan konflik. Saya memang tidak melewatkan sedikitpun
bagian terkecil dari buku ini. Namanya juga saya ingin mengulik bukunya, tho.
Saya sempat merasa bosan dan nyaris menyudahi bacaan saya kalau saja saya tidak
berdamai dengan sisi lain hati saya yang berkata semoga-saya-menemui-sesuatu-di-buku-ini.
Ternyata, akhirnya saya tidak salah. Ketika membuka lembaran pertama di chapter
4 hingga bagian ending, saya tidak bisa berhenti membacanya hingga
benar-benar selesai.
Ada
apa ya dengan chapter-chapter sebelumnya? Buat saya, prolog
adalah bagian terpenting dari sebuah novel, jika memang penulisnya membuat prolog.
Jika tidak pun, berarti ada bagian lain yang jadi bagian penting. Prolog itu
ibarat sebuah kunci yang akan digunakan untuk membuka pintu menuju
lorong-lorong cerita, bukan sebagai pembuka cerita. Pembuka pintu lorong cerita
dan pembuka cerita adalah dua hal yang berbeda. Dan dalam CineUs,
prolognya tak lebih hanya sebagai pembuka cerita saja, bukan pembuka pintu
lorong cerita. Kalau bagian prolog ini dimasukkan ke Chapter 1, atau
dijadikan sebagai Chapter awal yang berdiri sendiri, tidak akan ada
bedanya. Pembaca tidak akan merasa kehilangan pembuka pintu lorong cerita,
sebaliknya, pembaca hanya merasa sedang memasuki bagian pembuka cerita.
Chapter 1
hingga Chapter 3 sebenarnya merupakan bagian pengantar cerita. Di bagian-bagian ini mulai
dikenalkan tokoh-tokoh sentral, mulai menunjukkan bagaimana kacau dan suramnya
keadaan awal Klub Film, mulai memperkenalkan konflik. Gaya
penulisan seperti ini paling sering kita temukan pada cerita dengan alur maju. Namun sayangnya penulis
gagal melakukan opening yang cantik di tiga bagian awal ini. Membaca
tiga bagian ini seperti menonton film dokumenter dengan opening yang
datar serta dialog yang terasa garing.
Untungnya,
‘film’ tersebut bergerak ke scene yang menegangkan di Chapter 4,
ketika Lena ingin menyingkap siapa sesungguhnya sosok misterius yang tak
sengaja menguntitnya pada suatu malam. Lena melakukannya tak lain karena
kehadiran sosok tersebut diharapkan bisa membantu bangkitnya Klub Film yang
terpuruk. Cara-cara yang dilakukan Lena agak konyol sebenarnya, tapi it’s
okay-lah karena pelakunya anak sekolahan. Apa sih yang tidak
dilakukan anak sekolahan? Meski dalam dunia orang dewasa, tindakan Lena
tersebut adalah tindakan tanpa-pikir-panjang, namun di sinilah sisi menariknya.
Bagaimana tidak? Lena nekat mencari si sosok misterius, salah satunya adalah
dengan mendatangi semua kelas termasuk kelas senior yang sering mem-bully-nya.
Ini sama saja dengan mengumpankan dirinya pada macan lapar. Namun itu belum
seberapa jika dibandingkan dengan tindakan nekadnya saat mencuri data siswa di
ruang guru. Belum lagi ketika basecamp mereka yang dirusak oleh grup
saingan hingga mereka harus pindah ke ruang bawah tanah, lalu saat Dena adu
jotos dengan seniornya yang pakai jambak-jambakan, juga saat video yang akan
mereka ikutsertakan di lomba malah dicuri oleh klub saingan, dan puncaknya adalah
saat mereka benar-benar harus berhadapan dengan Adit yang rada gila. Benar-benar
menegangkan!
***
Well,
di samping kelebihan-kelebihan yang saya tulis di atas, saya menemukan beberapa
kejanggalan, kekurangan (yang bisa jadi subjektif sekali) dalam buku ini. Mari
saya urutkan satu persatu;
1. Wajar jika Romi diletakkan sebagai tokoh
antogonis. Sejak awal dia memang sudah kelihatan tidak tertarik dengan Klub
Film dan sering adu pendapat dengan seniornya di Klub Film. Hanya saja, apa
yang membuat Romi sampai sebegitu ‘kejam’nya sebagaimana kejamnya tokoh
antogonis dalam sinetron-sinetron, ini masih kurang di-eksplor oleh
penulis. Mungkinkah awalnya dia bergabung karena motif tertentu? Atau faktor
lain? Hal ini tidak tergambar dalam buku ini. Ditambah dengan kenyataan Romi
malah berpacaran dengan seniornya, Renata, yang paling merasa (sok) cantik dan
paling berkuasa di sekolah tersebut. Ini terasa sekali aliran sinetronistiknya.
Seandainya saja ada sedikit penjelasan
kenapa dan ada apa dengan Romi serta hubungannya dengan Renata, mungkin akan
terlihat logis.
2. Tiba-tiba Romi adalah anak buah Adit? Ini
adalah fakta yang terlalu dipaksakan menurut saya.
3. Ketika Lena, Dania, Riski, dan Ryan
kehilangan Dion karena sebuah kesalahpahaman, yang pertama mereka lakukan
adalah datang ke rumah Dion. Namun Dion tidak berada di rumahnya seharian itu.
Setelah lelah menunggu Dion yang tak kunjung datang dan lelah menangis
berduaan, Lena dan Dania ketiduran di kamar Dion. Memang ibu Dion sudah
mempersilakan mereka masuk ke kamar Dion untuk melihat-lihat barang milik Dion.
Namun dua gadis itu tertidur di kamar seorang cowok? Ini agak sulit saya terima.
Maksud saya, kita ini kan tinggal di Indonesia, bukannya di Amerika. Apalagi
Lena hanya pernah sekali bertandang ke rumah Dion. Bagaimana mungkin ibu Dion
membolehkan anak-anak perempuan tidur di kamar anak laki-lakinya? Dari sisi
Lena dan Dania sendiri, bagaimana mungkin mereka tidak memiliki perasaan tidak
enak saat berlama-lama di kamar Dion sementara dua rekan mereka tak lagi di
kamar itu (mungkin di ruang tamu?). Lalu bagaimaan nasib Rizki
dan Ryan saat Lena dan Dania ketiduran di kamar Dion? Apakah mereka menunggu di
ruang tamu? Dalam wakktu selama itu? Atau, jangan-jangan mereka ikut-ikutan
tertidur di ruang tamu? Jika jawabannya yang kedua, ini justru lebih konyol
lagi, berarti mereka sedang mengadakan lomba tidur di rumah Dion.
4. Jika Dion terlalu bergantung pada Dania dan
Dania dengan senang hati melakukan apapun untuk Dion, itu biasa. Bagaimanapun
Dion bukan anak bodoh. Dia hanya menderita ADHD; Attention Deficit
Hyperactivity Disorder, yang membuatnya terlihat seperti orang bodoh, namun
di sisi lain dia sangat profesional dalam mengoperasikan handycam-nya. Di akhir
cerita terungkap sebuah fakta bahwa ternyata Dania menyukai Dion. Ini bukan
konflik baru sebenarnya. Sejak awal pembaca seharusnya sudah bisa menebak atas sikap-terlalu-baik
Dania terhadap Dion. Namun ketika satu persatu konflik terselesaikan di akhir
cerita, perkara Dania-Dion yang tertangkap basah oleh Lena, justru menguap
begitu saja tanpa penyelesaian.
5.
Saya yakin pembaca pasti suka melihat
semangat yang dimiliki oleh Lena cs. Semangat untuk mewujudkan mimpi, semangat
kerja keras dan pantang menyerah, semangat untuk memberikan yang terbaik untuk klub
sekolah mereka. Sayangnya, mereka hanya memiliki semangat dalam bidang film
saja. Mungkin akan oke-oke saja jika mereka adalah mahasiswa jurusan perfilman,
namun mereka adalah siswa sekolah menangah atas, di mana tugas utama mereka
adalah belajar yang tak hanya belajar film. Sejak awal, cukup sering digambarkan
bagaimana seorang Lena yang suka membolos, Rizki apalagi, hanya demi
mengerjakan proyek film. Saya rasa nilai ini agak kurang cocok untuk remaja
kita, apalagi sasaran pembaca buku ini adalah remaja.
6. Ada beberapa kata/kalimat yang saya tidak
mengerti maksudnya. Awalnya saya kira mungkinkah ini typo? Dalam menilik sebuah
buku, saya berusaha untuk tidak membahas atau menulis tentang typo. Namun jika
kata/kalimat yang sama namun penulisannya juga sama terus sepanjang halaman
buku, saya kira ini bukanlah typo. Kata seperti ‘merongoh-rongoh’ misalnya. Apakah
maksudnya ‘merogoh’, ya? Saya cek di
KBBI, adanya sih ‘rogoh’ sebagai kata dasar dari ‘merogoh’. Juga kata ‘dongo’,
apa maksudnya ‘dungu’? Saya tidak menemukannya di KBBI, namun juga tidak pernah
mendengarkannya sebagai bahasa gaul. Atau, apakah saya yang kurang gaul? Mungkin
saja, hahaa…
7. Kalimat ‘kertas yang dipegang olehku’
(halaman 41), itu adalah kalimat pasif. Nah, karena novel ini mengambil point
of view orang pertama, di mana si aku sebagai Lena, maka sebaiknya si aku menyatakan kalimat
aktif, bukan pasif. Kalimat pasif biasanya dinyatakan oleh pihak lain selain
‘aku’ sebagai orang pertama, misalnya ‘kulihat kertas itu dipegang oleh Dania’
dan bukannya ‘kertas yang dipegang olehku’. Kalimat ‘kertas yang kupegang’
terdengar lebih enak daripada ‘kertas yang dipegang olehku’. Benar atau benar?
:D
8. Klub film sekolah, masak sih bernama Klub Film
juga? Terus, saingan klub yang sama bernama Movie Club. Apakah penulis
sedang kehilangan ide untuk memberi nama klub? Dua nama; Klub Film dan Movie
Club, itu kan sama saja, tho? Satu bahasa Indonesia, satunya lagi
bahasa Inggris. Mungkinkah maksudnya supaya pembaca tidak sampai ‘merekam’
nama-nama klub tersebut hingga kelompok mereka lebur dan bernama CineUs,
sebagaimana judul novelnya?
9. Poin ini agak subjektif ya, jadi jangan dijadikan pedoman. Saya suka bagaimana
penulis menggambarkan karakter Rizki, dia tokoh yang unik dan beda menurut
saya. Biasanya nih ya, umumnya penulis teenlit lebih suka membuat tokoh
cowoknya itu dengan wajah tampan, badannya tinggi, tajir, otaknya tokcer, anak orang
kaya, idola cewek satu sekolahan, bla.. bla.. semuanya atau sebagian yang saya
sebut. Namun tidak demikian dengan Rizki. Dia tidak tampan, gendut meskit tetap
tinggi, penampilan slebor, dan introvert. Pokoknya, bukan tipe cowok idaman banget,
anti-mainstream-lah. Dengan cara ini, seolah
penulis ingin menunjukkan bahwa siapapun bisa meraih mimpi dan mendapatkan
cintanya, tanpa harus melihat fisik. Cuma satu yang membuat saya tidak suka
dengan Rizki selain dia suka membolos; selera humornya garing. Masa' saat
ditanya oleh Lena darimana dia mengetahui jalan rahasia menuju bunker, Rizki
menjawab ‘Saya adalah ultraman’.
Overall,
novel ini sangat inspiratif, cocok dibaca oleh remaja yang sedang seru-seruan
dengan dunianya. No cinta-cintaan yang lebay nan alay. Saya beri 3 bintang untuk novel ini. Sebagai
penutup, saya kutip kalimat yang saya suka dalam buku ini;
Sahabat pasti akan kembali sekalipun bertengkar hebat. Sahabat sejati selalu punya tempat di hati. Kehilangan sahabat akan menyisakan ruang kosong yang tak bisa ditambal lagi. (hal. 215)
Setuju? :D
Buat yang penasaran bukunya seperti apa, silakan lihat trailer berikut dulu ya ;)
Buat yang penasaran bukunya seperti apa, silakan lihat trailer berikut dulu ya ;)
Review
ini saya ikutkan pada lomba Review Novel CineUs bersama Smarfren dan Penerbit Nourabooks.
16 comments
Write commentsYeaaah, puanjang banget reviewnya mak...bikin megap-megap kayaknya kalo bikin #ngelap-kringet# deeh ^_^, btw semoga sukses ya lomba reviewnya. Go go go (y)
ReplyDalam banget ya fardelyn reviewnya. Semoga sukses
Replynonton nonton
ReplyMbak Christanty:
ReplyIya mbak, kayaknya ini tulisan resensi saya yang terpanjang. Saat ngetik di lembaran word, gak nyadar udah 12 halaman, itupun setelah potong sana sini yang gak penting. Saking banyaknya yang ingin saya sampaikan tentang buku ini, hihiiii...
Makasih udah baca mbak ;)
Mbak Yervi:
Aamiin. makasih udah berkunjung ya mbak ;)
Tazaenjayy:
Saya juga pengen nonton, eh baca :D
beuhhh,komplit habiss mbk hehehe,,jadi semakin penasaran hehe
Replysalam kenal^^
Wuihhh, panjanng nian--dang lengkap pula. Satu buku ternyata bisa disulap jadi beragam tafsiran. Jangan-jangan tar dibahas buat bahan tesis nih :) Semoga berjaya dan salam kenal dari Kota Hujan ....
Replymbak Hana:
Replysebenarnya belum komplit mak, tapi saya batasi aja sampai 12 halaman, hihii....
Mas Belalang Cerewet:
Wah...boleh juga tuh mas, nanti dipanjangin lagi trus jadi thesis, hahaa...
Terima kasih sudah berkunjung mas. Salam hangat dari negeri gajah putih :)
Mbak Elyn, aje gile resensinya. Bakalan jadi juara nih.
ReplyAmin. Aku mengaminkan doa Ika berkali-kali
ReplyCeritanya sendiri lebih cocok untuk anakku ya heheheeee.... tapi aku kagum dg Evie penulisnya & kreativitas promosinya, jadi ya kulihat-lihat juga trailernya di youtube. Keren sangat
ReplyIya mak Lusi, cerita ini memang remaja banget. Tapi masih cucoklah dibaca sama emak-emak kayak kita, hihiiiiii...
Replykalo baca resensi kak Eky, ga tau ya, enak aja ngebacanya, jd gampang ngertinya. Point2 analisisnya keren! Smg menang ya kak, amiin :)
Replybtw, salut buat kak Eky yg lagi sibuk sm thesis, sempat2nya juga nulis kayak gini, panjang pulak :D
Replykalo isra, sibuk dikit aja, urusan menulis jd belakangan, kayaknya memang hrs dipaksa, kalo gak malas ini bnr2 merajalela nantinya ^^9
Isra, makasih ya udah baca resensi ini. Mana agak panjang pula, heuheu... Kalau enak nulisnya dan lancar jaya idenya, memang gak terasa aja, eeeh..udah di halaman ke sekian.
ReplyIni juga dipaksa-paksa Isra, biarpun jarang menulis, yang penting ada dan berusaha menampilkan yang terbaik, hehee.. yeah, diselang-seling sama nulis thesis, maka jadilah tulisan ini.
Sekali lagi, makasih udah berkunjung ya.
Saya aminkan doanya ;)
Terima kasih sudah mengapresiasi novel CineUs. Semoga nanti berkenan mengapresiasi sekuelnya :)
ReplySama-sama mbak Evi
ReplySemoga saya bisa membaca sekuelnya dan juga membuat resensinya di blog ini. Ditunggu ya mbak ;)
ConversionConversion EmoticonEmoticon