Lebaran sudah di depan mata. Berbagai persiapan menyambut hari nan
suci ini sudah dilakukan sejak minggu ini, salah satunya adalah membuat
kue-kue lebaran dan menyiapkan daftar menu di hari lebaran.
Selain kue-kue kering, di hari pertama dan kedua lebaran, di
rumah-rumah penduduk di kampung saya, mereka juga menyiapkan makan lain
semisal rendang atau daging masak Aceh yang biasanya dimasak sehari
sebelum idul Fitri. Daging ini mereka beli dan olah di hari yang kami
sebut hari Meugang.
Saya sendiri, meski sudah berkeluarga, selalu menghabiskan lebaran
bersama orangtua di kampung. Kebetulan saya dan suami berasal dari satu
kecamatan yang sama, jadi setiap lebaran, kami tidak perlu pusing
memikirkan akan mudik ke mana.
Salah satu kegiatan yang melelahkan sekaligus menyenangkan di hari
terakhir puasa adalah mempersiapkan makanan lebaran. Menu favorit saya
dan keluarga besar adalah lontong dan Leumang. Kami menyukai Lontong
karena rasanya yang gurih dan bikin kenyang. Lontong buatan ibu saya
nikmat tiada tara. Saya selalu melihat ibu meracik bumbu. Saya pikir
bumbunya tidak sulit dan mudah diingat. Yang sulit dan agak lama hanya
pada proses memasak lontongnya.
Seingat saya, hampir setiap lebaran kami membuat Lontong, kadang
Leumang. Leumang adalah sejenis makanan yang dimasak dalam bamboo dan
menggunakan bahan dasar beras ketan. Pada hari lebaran, Leumang biasanya
dimakan dengan tapi ketan.
Saya lebih doyan lontong sebenarnya. Sementara Leumang, makanan ini
juga kami sediakan karena kami tinggal di kaki gunung sebuah kampung, di
mana sebagian besar penduduknya lebih menyukai makan Leumang. Mereka
sebenarnya suka juga makan Lontong, tapi karena membuatnya repot, lama
serta karena tidak terbiasa juga, mereka lebih memilih memasak Leumang
saja. Lontong dan Leumang ini akan kami hidangkan di atas meja untuk
menjamu tamu-tamu yang datang bersilaturahmi ke ayah saya.
Ayah adalah tengku (imam masjid) di kampung saya. Beliau juga anak
tertua dalam keluarga besarnya. Jadi, di hari lebaran nanti, rumah kami
akan dikunjungi oleh adik-adik ayah serta masyarakat kampung. Ramai
sekali.
Sehari sebelum lebaran, saya, ibu dan adik perempuan saya akan sangat
repot mempersiapkan ini. Selepas sahur dan salat subuh, mulailah kami
berjibaku mempersiapkan banyak hal. Sebelum ayah membeli daging untuk
membuat rendang sebagai salah satu pelengkap lontong, kami terlebih
dahulu membuat Leumang. Bambu untuk membuat Leumang sudah kami
persiapkan dua atau tiga hari sebelumnya. Matahari belum naik saat
Leumang sudah bertengger di tungku pembakaran tradisional.
punya dua anak perempuan, jadi Ibu tidak perlu meminta seseorang
untuk datang ke rumah kami sebagai asisten dapur. Dengan adanya kami
bertiga, berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, cukuplah tenaga
kami untuk menyiapkan jamuan di hari lebaran. Untungnya lagi, meski kini
kami tidak tinggal lagi dengan Ibu, tapi aku dan adik perempuanku
selalu pulang ke rumah Ibu setiap kali lebaran.
Lontong selalu kami sajikan dengan rendang ayam dan rendang daging.
Sengaja kami buat dua jenis rendang agar semua bisa mencicipi.
Maksudnya, buat yang tidak bisa makan daging, bisa memilih rendang ayam,
begitu juga sebaliknya. Pelengkap Lontong lainnya yang tak boleh
ketinggalan adalah kuah lodeh, tempe goreng kering, tumis taoco cabe
hijau dan taoco cabe rawit (sama halnya seperti rendang, kami juga
membuat dua jenis taoco cabe, buat yang tidak suka pedas bisa memilih
taoco cabe hijau, begitu juga sebaliknya), dan bawang goreng. Hmmm…tak
sabar rasanya menunggu lebaran. Ingin segera mencicipi Lontong hasil
racikan Ibu saya.
Hari terakhir puasa adalah hari yang sangat melelahkan buat saya, Ibu
dan adik perempuan saya. Dari habis subuh sampai jelang tengah malam,
kami masih saja berkutat di dapur. Saat tengah malam menjelang tidur,
setelah mematikan kompor, seusai memadamkan api pembakaran di tungku
tradisional untuk merebus Lontong, memastikan makanan-makanan tersebut
tersimpan dan tertutup dengan baik, barulah kami beranjak tidur. Tubuh
rasanya seperti dilipat-lipat. Pernah menjadi panitia masak untuk sebuah
pesta? Ya, kira-kira seperti itulah rasanya. Ya, karena kami memasak
Lontong dalam jumlah banyak, yang bisa makan dan kami hidangkan untuk
tamu-tamu selama dua hari, di hari pertama dan kedua Idul Fitri. Tapi di
balik itu, membuat makan favorit sekeluarga yaitu Lontong, memberikan
sensasi tersendiri. Memasak hidangan untuk tamu-tamu ayah, adik-adik
ayah, serta masyarakat di sekitar rumah kami sesungguhnya adalah sebuah
kebahagiaan buat kami. Tujuan batiniah kami adalah menjaga silaturahmi
dan mencari ridha Allah dengan memuliakan tamu, salah satu caranya
adalah menjamu tamu makan. Hidup dengan memiliki hubungan yang baik
dengan orang-orang, sungguh memberi ketenangan dan kenikmatan.
Selamat menyambut lebaran yaaa, semoga kita masih dipertemukan kembali di Ramadan yang akan datang. Aamiin.
Next
« Prev Post
« Prev Post
Previous
Next Post »
Next Post »
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
7 comments
Write commentsMbak aku belum pernah makan Leumang, mau dong dilemparin buat saya :)
ReplyWah, lebara pasti selalu ramai ya Mbak, kalau tempatku sepi, paling tempat nenek yang ramai. Krena biasanya lebaran kedua sekeluargaku sudah mudik ke Pati. Jadi jarang masak besar.
waaaa udah lebaran aja disini .. xixixi iya mbak emang udah bentar lagi ya ga kerasa banget ..
Replymbak Ika:
Replywaaah..belum pernah makan leumang, ya? Kebetulan aku mau pulang kampung nih, mudah-mudahan ya aku bisa menulis tentang orang kampung yang membuat leumang nantinya.
Mbak Dea:
waaa...di mana itu mbaaaaak? :D
wah,,, yang ini udah jadi tradisi wajib setelah lebaran!!
ReplyMasakan Afrika
biasanya klo lebaran berhari-hari tu cuma makan lontong aja ya kak, lupa nasi :)
Replylow Que mlh g' ska lontong, jdi walau da lontong biasa~Y lbh mlih nasi..:)
ReplyIyaaaa...samaaa...di hari pertama lebaran makanannya lontong teruuuus dari pagi sampe sore karna bahan dasarnya ya sama kayak nasi.
ReplyTapi kembali ke soal selera sih, ada yang lebih suka makan nasi sebagai menu utama makannya, hehee
ConversionConversion EmoticonEmoticon