Belajar Menjadi Lebih Tegas


Suatu ketika, terjadilah proses utang-piutang di antara tiga orang; aku, Mawar, dan Melati (bukan nama sebenarnya)
Beasiswa kami belum keluar, jadi aku meminjam uang pada Melati. Sementara Mawar sudah meminjam pada Melati di bulan sebelumnya. Bedanya, Mawar meminjam dalam jumlah yang lebih banyak dibanding jumlah pinjamanku pada Melati. Meski demikian, Melati mewanti-wanti hal yang sama pada kami; bulan depan harus dikembalikan. Itu artinya sebulan kemudian setelah aku meminjam dan dua bulan kemudian setelah Mawar meminjam.

Dalam rentang masa itu, tahu-tahu Mawar kehabisan uang (uang yang dipinjamnya dari Melati). Tidak tahu mau meminjam ke mana, akhirnya Mawar meminta pinjaman padaku. Karena Mawar memelas dan berjanji akan mengembalikannya minggu depan saat dia kembali ke Indonesia, akupun luluh.
Seminggu kemudian, saat Mawar sudah kembali ke  Indonesia, dia berkata belum ada uang. Aku maklum.

Sebulan kemudian, tibalah saatnya kami harus mengembalikan uang Melati. Mawar mencari bantuan dari mana-mana untuk mengembalikan uang Melati. Melati dulunya adalah senior kami di kampus, yang sekarang menjadi pimpinan kami, makanya kami agak segan jika sampai berutang lama.     
Saat Mawar mengusahakan uang untuk melunaskan utang-utangnya, aku sempat merasa lega karena tak lama lagi  Mawar akan mengembalikan uangku, begitu pikirku. Ternyata aku salah! Mawar hanya mengusahakan uang Melati dan tidak mengusahakan uangku. Yang aku tidak habis pikir, pinjaman sebesar 4 juta rupiah pada Melati, sanggup diusahakannya dari mana-mana, tetapi pinjamannya padaku yang jumlahnya tak sampai 500 ribu, tak masuk dalam daftar ‘usaha’nya tersebut. Mendapat perlakuan yang berbeda begini, di situ kadang aku merasa sedih.

Setiap kali Mawar berkata ‘tunggu’, aku selalu luluh. ‘Tunggu’ lagi, luluh lagi. Begitu seterusnya hingga hari ini.
Sekarang, sudah lebih setengah tahun dari waktu dua minggu yang dijanjikannya, namun uangku belum dikembalikannya.

Meski aku selalu luluh pada Mawar, sesungguhnya aku merepet panjang lebar pada suamiku. Ya, suamiku-lah tempat curhatku. Kukatakan; Mawar begini Mawar begitu. Tidak pengertianlah, tidak punya perasaanlah. Suamiku hanya mendengarkan saja.
Sampai hari ini, Mawar masih berkata ‘belum ada uang untuk membayar uangku’. Sementara dalam masa-masa itu aku mendengar kabar; dia lumayan sering membeli baju baru dan tas baru, anaknya masuk TK swasta yang mahal, beli ini beli itu. Diperlakukan seperti ini, sakitnya tuh di sini *tunjuk jidat*

Merepet lagi aku pada suamiku. Mungkin karena sudah cukup sering mendengar repetanku, akhirnya suamiku berkata;
“Kamu tahu nggak kenapa Mawar seperti itu? Karena kamu nggak tegas. Coba kamu bilang sama Mawar seperti yang kamu bilang sama Abang, kondisi kamu, keberatan kamu. Ini malah yang ada, setiap kali dia bilang nggak ada uang, kamu mengiyakanlah, oke-lah.”

Betul sekali apa yang suamiku katakan. Aku mencoba tersenyum setiap kali  Mawar meminta tenggat waktu,  tetapi batinku meringis. Satu lagi, aku tidak pernah menagih.
“Nggak usah pura-pura jadi malaikat tetapi akhirnya kamu makan hati sendiri. Harus berani lebih tegas, bilangin kalau dia harus segera mengembalikan uangmu. Lihat Melati, dia tegas kan sama kalian?”

Bismillah. Aku mencoba apa yang suamiku sarankan. Harus lebih tegas, demi ketenangan jiwa.
‘Mawar, kapan kau membayar utangmu?’ *message sent*

“Oh kakak lagi butuh uang, ya? Bentar ya kak, aku usahakan’. *Mawar replied*
‘Harus dalam minggu ini, ya!’ *message sent*
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Previous
Next Post »

1 comments:

Write comments
1 Februari 2016 pukul 16.58 delete

Pengalamanku banget ini kak, kalau pas minjem bilangnya secepatnya dibalikin, gajian bulan depan, minggu depan dan bla bla eh begitu udah dipinjemin lupa deh kapan dibalikin. Pernah sampai bertahun2 juga gak dibalikin. Aku juga agak gimana sih kalau minta buat balikin duitnya jadi yaaa.. gigit jari aja :( #curcol

Reply
avatar

Instagram @fardelynhacky