CineUs; Mengejar Mimpi Melalui Movie



Judul Buku              : CineUs
Penulis                      : Evi Sri Rejeki 
Tebal                          : xvi + 280 halaman
Penerbit                      : Noura Books
Tahun terbit             : Agustus 2013
 ISBN                         : 978-602-7816-56-5
 
Sejak awal kehadirannya, penerbit Nourabooks (dulu namanya Lingkar Pena Publishing House) memang concern menerbitkan fiksi bergenre remaja atau fiksi popular, khususan fiksi islami. Seiring perkembangannya, penerbit ini pun sudah bermetaformosis. Tak hanya berubah dengan nama yang berbeda,  buku-buku yang mereka terbitkan juga sudah bervariasi. Meski demikian, fiksi remaja tetap menjadi salah satu lini buku andalan penerbit ini. Ya, kita tak bisa menampik bahwa remaja adalah sasaran pembaca yang paling dominan dalam tataran pembaca buku Indonesia. Mungkin, didorong atas kondisi tersebut, Nourabooks kemudian membuat lini khusus dalam menerbitkan buku-buku remaja. Yang terbaru adalah lini S-Club Series. S-Club Series adalah novel-novel yang bercerita tentang seru-seruan di klub-klub sekolah. Ada klub film, klub olahraga, klub buku, dan banyak lagi; dan, novel CineUs adalah buku pertama dari S-Club Series ini.

Dunia remaja dengan segala dinamikanya memang selalu menarik untuk ditulis. Percintaan, persahabatan, persaingan, seru-seruan di sekolah, hubungan dengan orang tua, dan banyak dinamika lainnya yang mengemuka. Penulis mesti jeli menangkap dinamika tersebut dan meramunya menjadi cerita dengan satu kesatuan yang utuh. Melalui CineUs, penulis berhasil memotret ragam dinamika dunia remaja yang penuh dengan semangat dan tantangan.
***
Sebetulnya saya sudah lama meninggalkan bacaan bergenre teenlit.  Bukan karena tidak suka, justru sebaliknya, fiksi teenlit termasuk bacaan favorit saya dulu, ketika saya belum menjadi emak-emak seperti sekarang. Ini terjadi  lebih karena; akses untuk mendapatkan buku-buku teenlit sudah mulai berkurang, usia yang sudah tak muda lagi, waktu dan kesempatan membaca yang semakin sempit apalagi sejak saya punya anak, dan… semakin ke sini, bacaan teenlit semakin tidak menarik. Beberapa ditulis dengan tema yang itu-itu saja (tema percintaan di kalangan remaja) namun tanpa eksekusi yang memikat. Jika ditanya, lebih suka mana, teenlit terjemahan atau teenlit Indonesia? Tentu saya suka keduanya. Tak bisa dibandingkan. Di tanah air, saya  masih ingat beberapa bacaan teenlit yang pernah saya suka. Saya masih mengingatnya bertahun-tahun kemudian, tentu saja karena teenlit-teenlit tersebut meninggalkan kesan mendalam buat saya. Sampai saya meninggalkan bacaan teenlit. Sampai kemudian saya menemukan CineUs, novel teenlit besutan penerbit Nourabooks.
CineUs saya dapatkan justru ketika saya tidak sedang berada di tanah air. Atas kebaikan seorang teman, buku ini dikirim (melalui suami saya) untuk saya yang saat ini sedang menuntut ilmu di negeri-nya raja Bhumibol Adulyadej. Dengan suka cita saya menerimanya, dan taraaaa… I love to read this book, tak mau berhenti setelah ketemu titik serunya. Apalagi saya menyukai jalinan chemistry of love yang terjadi antara Lena dan Rizki. Manis, seperti gula palem. Tapi tetap saja, dengan beberapa catatan yang akan saya tulis belakangan.  
CineUs (dibaca sineas) hadir  di tengah-tengah kebosanan saya akan bacaan teenlit yang terbit akhir-akhir ini namun tak lagi memikat saya. Apa yang berbeda? Apakah ceritanya yang luar biasa? Hohoho…sama seperti tema-tema umum teenlit lainnya, tema cinta dan persahabatan masih dominan dalam novel ini.
Desain kover sampul terlihat sederhana namun maknanya dalam. Dari cover saja, ini sudah menunjukkan ke pembaca bahwa buku ini akan bercerita sedikit atau banyak tentang dunia film. Lebih dari itu, buku ini juga akan memotivasi pembaca, khususnya remaja, untuk tidak takut meraih mimpi. Bukankah remaja selalu punya gejolak ketika dihadapkan pada mimpi-mimpi yang mereka punya? Hal itulah yang terekam dalam novel setebal 280 halaman ini.
CineUs bercerita tentang sekelompok remaja pecinta dunia film. Mereka adalah  Lena, Dania, dan Dion. Klub film ini bernama Klub Film. Sayang sekali, Klub Film yang mereka dirikan sama sekali tidak mendapat tanggapan positif dari siswa-siswa di sekolah mereka. Yang bergabung dengan mereka hanya anak-anak kelas junior. Konflik dimulai ketika pertama kalinya klub film dibentuk, majalah sekolah mereka malah memuat berita picisan tentang Klub Film. Dari sinilah semua bermula. Cerita berlanjut ketika Klub Film mendapat cemoohan dari banyak siswa hingga cerita saat Lena mendapat tantangan dari mantan pacarnya, Adit, untuk mengikuti kompetisi Festival Film Remaja Indonesia (FFRI) di Jakarta. Sebenarnya Lena ogah melayani mantan pacarnya yang rada gila itu, namun karena sudah tidak tahan lagi dengan isi twit-twit Adit yang terus menerus menyudutkannya, akhirnya Lena ikut juga dengan taruhan yang ditawarkan Adit. Lena mulai merancang rencana, mengajak rekan-rekannya membuat film untuk kompetisi tapi tidak memberitahu tujuannya pada teman-temannya.
Cerita berlanjut ketika salah seorang dari anggota Klub Film, Romi, berkhianat dan memecah belah klub tersebut. Akibatnya, Klub Film hanya dijalani oleh Lena, Dania, dan Dion saja. Di tengah keputusasaan, muncul seseorang yang tak terduga. Seseorang yang selama diharapkan kehadirannya oleh Lena, untuk menolong Klub Film yang hampir kolaps. Dia adalah Rizki, yang jago dalam bidang storyboard animasi, seorang creator sekaligus film director dari sebuah web series terkenal. Beruntungnya lagi, Rizki datang tak hanya sendiri, dia juga membawa temannya, Ryan, yang jago menggarap backsound sebuah film.  Nah, justru dengan hadirnya dua orang belakangan ini, Klub Film semakin terintimidasi oleh ulah Romi, juga masalah-masalah yang hadir belakangan, termasuk salah satunya adalah masalah cinta. Yup, cerita remaja dan cerita bergenre apapun dari belahan dunia manapun, tak lengkap rasanya tanpa dibumbui kisah cinta. Rizki yang mati-matian jatuh cinta pada Lena, harus mengalami kekecewaan ketika mengetahui kenyataan bahwa Lena telah mencuri naskah skenarionya.  Fatalnya lagi, naskah tersebut menjadi juara pada kompetisi FFRI, menang atas nama Lena, bukan atas nama Rizki. Bagaimana ini bisa terjadi? Bukankah Lena dan Rizki saling menyukai, lalu kenapa harus ada tragedi ini? Apa yang kemudian terjadi pada mereka berdua? Lalu bagaimana dengan kelangsungan klub film mereka? Kayaknya kalian harus baca bukunya ya, temukan sendiri bagaimana Lena mengatasi semua mengatasi masalah yang menimpa Klub Film, juga masalah cintanya dengan Rizki.
Dalam buku ini, tidak ada kepingan puzzle yang akan membuat pembaca deg-degan, namun intrik-intrik yang dihadirkan CineUs akan membawa pembaca ke ‘lorong-lorong’ cerita yang tak terduga. Ibarat menonton film, semua potongan cerita tersaji secara runut dan detail. Membuat penonton (pembaca) diajak bertualang dari satu scene ke scene lainnya. Cerita berjalan dengan alur maju yang rapat. Sedikit flashback adalah saat Lena teringat bagaimana dulu hubungannya dengan Adit yang berjalan manis namun harus berakhir dengan cara yang tragis.
Saya suka istilah-istilah seperti  blok poros, negara sekutu, dan negara jajahan sebagai penamaan untuk masing-masing kelas. Kelas senior (kelas 3) disebut blog poros, kelas dua disebut negara sekutu, selebihnya adalah anak-anak kelas satu dan kelas dua yang tidak top di sekolah, masuk dalam golongan negara jajahan. Jadi yang namanya ‘perang dunia’ bisa saja terjadi di sekolah ini. Penguasanya tentu saja dari golongan blog poros. Lucu, yak! 
Penulis juga kreatif membuat kalimat judul per chapter yang semuanya diawali dengan kata ‘who’. Tentu ini upaya yang tidak mudah agar semuanya terlihat ‘kompak’. Meski demikian, entah kenapa saya agak kurang suka dengan penamaan ‘Chapter’? Kenapa tidak ‘Bab’ saja, atau ‘Bagian’, misalnya? Bukan apa-apa, kalau melihat kata ‘Chapter’, saya langsung terbayang thesis yang sedang saya garap, hahaa…
Membaca buku ini, memberi sedikit gambaran pada saya tentang bagaimana seluk beluk dunia film. Meski Klub Film hanya sebuah klub film junior, bukan klub film yang digerakkan oleh orang-orang yang mumpuni di dunia perfilman, namun sebagai anak kampung yang dulu bersekolah di SMA kampung, yang kegiatan ekstrakurikuler sekolah saya dulu hanya kegiatan tari (untuk perempuan) dan olahraga (untuk laki-laki dan sebagian perempuan), saya cukup dibuat ‘wow’ dengan adanya klub film sekolah sebagai tema novel ini. Apalagi klub tersebut eksis awalnya justru bukan inisiatif dari pihak sekolah, melainkan permintaan anak-anak yang hobi menekuni bidang ini. Membayangkan bagaimana Lena cs berjuang mendapatkan ijin mendirikan klub, memperjuangkan semuanya dari nol, mempertahankan klub mereka yang nyaris goyah, dan akhirnya membuat besar nama klub karena memenangkan kompetisi tingkat nasional, sungguh bukan kerja yang mudah. Salut untuk remaja-remaja ini. Semangat mereka luar biasa!
Harus saya akui, ekspektasi saya terhadap buku ini tidak sebesar ketika saya melewati bagian yang mulai klik dengan konflik. Saya memang tidak melewatkan sedikitpun bagian terkecil dari buku ini. Namanya juga saya ingin mengulik bukunya, tho. Saya sempat merasa bosan dan nyaris menyudahi bacaan saya kalau saja saya tidak berdamai dengan sisi lain hati saya yang berkata semoga-saya-menemui-sesuatu-di-buku-ini. Ternyata, akhirnya saya tidak salah. Ketika membuka lembaran pertama di chapter 4 hingga bagian ending, saya tidak bisa berhenti membacanya hingga benar-benar selesai.
Ada apa ya dengan chapter-chapter sebelumnya? Buat saya, prolog adalah bagian terpenting dari sebuah novel, jika memang penulisnya membuat prolog. Jika tidak pun, berarti ada bagian lain yang jadi bagian penting. Prolog itu ibarat sebuah kunci yang akan digunakan untuk membuka pintu menuju lorong-lorong cerita, bukan sebagai pembuka cerita. Pembuka pintu lorong cerita dan pembuka cerita adalah dua hal yang berbeda. Dan dalam CineUs, prolognya tak lebih hanya sebagai pembuka cerita saja, bukan pembuka pintu lorong cerita. Kalau bagian prolog ini dimasukkan ke Chapter 1, atau dijadikan sebagai Chapter awal yang berdiri sendiri, tidak akan ada bedanya. Pembaca tidak akan merasa kehilangan pembuka pintu lorong cerita, sebaliknya, pembaca hanya merasa sedang memasuki bagian pembuka cerita. 
Chapter 1 hingga Chapter 3 sebenarnya merupakan bagian pengantar cerita. Di bagian-bagian ini mulai dikenalkan tokoh-tokoh sentral, mulai menunjukkan bagaimana kacau dan suramnya keadaan awal Klub Film, mulai memperkenalkan konflik. Gaya penulisan seperti ini paling sering kita temukan pada cerita dengan alur maju. Namun sayangnya penulis gagal melakukan opening yang cantik di tiga bagian awal ini. Membaca tiga bagian ini seperti menonton film dokumenter dengan opening yang datar serta dialog yang terasa garing.
Untungnya, ‘film’ tersebut bergerak ke scene yang menegangkan di Chapter 4, ketika Lena ingin menyingkap siapa sesungguhnya sosok misterius yang tak sengaja menguntitnya pada suatu malam. Lena melakukannya tak lain karena kehadiran sosok tersebut diharapkan bisa membantu bangkitnya Klub Film yang terpuruk. Cara-cara yang dilakukan Lena agak konyol sebenarnya, tapi it’s okay-lah karena pelakunya anak sekolahan. Apa sih yang tidak dilakukan anak sekolahan? Meski dalam dunia orang dewasa, tindakan Lena tersebut adalah tindakan tanpa-pikir-panjang, namun di sinilah sisi menariknya. Bagaimana tidak? Lena nekat mencari si sosok misterius, salah satunya adalah dengan mendatangi semua kelas termasuk kelas senior yang sering mem-bully-nya. Ini sama saja dengan mengumpankan dirinya pada macan lapar. Namun itu belum seberapa jika dibandingkan dengan tindakan nekadnya saat mencuri data siswa di ruang guru. Belum lagi ketika basecamp mereka yang dirusak oleh grup saingan hingga mereka harus pindah ke ruang bawah tanah, lalu saat Dena adu jotos dengan seniornya yang pakai jambak-jambakan, juga saat video yang akan mereka ikutsertakan di lomba malah dicuri oleh klub saingan, dan puncaknya adalah saat mereka benar-benar harus berhadapan dengan Adit yang rada gila. Benar-benar menegangkan!
***
Well, di samping kelebihan-kelebihan yang saya tulis di atas, saya menemukan beberapa kejanggalan, kekurangan (yang bisa jadi subjektif sekali) dalam buku ini. Mari saya urutkan satu persatu;
1.  Wajar jika Romi diletakkan sebagai tokoh antogonis. Sejak awal dia memang sudah kelihatan tidak tertarik dengan Klub Film dan sering adu pendapat dengan seniornya di Klub Film. Hanya saja, apa yang membuat Romi sampai sebegitu ‘kejam’nya sebagaimana kejamnya tokoh antogonis dalam sinetron-sinetron, ini masih kurang di-eksplor oleh penulis. Mungkinkah awalnya dia bergabung karena motif tertentu? Atau faktor lain? Hal ini tidak tergambar dalam buku ini. Ditambah dengan kenyataan Romi malah berpacaran dengan seniornya, Renata, yang paling merasa (sok) cantik dan paling berkuasa di sekolah tersebut. Ini terasa sekali aliran sinetronistiknya. Seandainya saja  ada sedikit penjelasan kenapa dan ada apa dengan Romi serta hubungannya dengan Renata, mungkin akan terlihat logis.
2.  Tiba-tiba Romi adalah anak buah Adit? Ini adalah fakta yang terlalu dipaksakan menurut saya.
3.   Ketika Lena, Dania, Riski, dan Ryan kehilangan Dion karena sebuah kesalahpahaman, yang pertama mereka lakukan adalah datang ke rumah Dion. Namun Dion tidak berada di rumahnya seharian itu. Setelah lelah menunggu Dion yang tak kunjung datang dan lelah menangis berduaan, Lena dan Dania ketiduran di kamar Dion. Memang ibu Dion sudah mempersilakan mereka masuk ke kamar Dion untuk melihat-lihat barang milik Dion. Namun dua gadis itu tertidur di kamar seorang cowok? Ini agak sulit saya terima. Maksud saya, kita ini kan tinggal di Indonesia, bukannya di Amerika. Apalagi Lena hanya pernah sekali bertandang ke rumah Dion. Bagaimana mungkin ibu Dion membolehkan anak-anak perempuan tidur di kamar anak laki-lakinya? Dari sisi Lena dan Dania sendiri, bagaimana mungkin mereka tidak memiliki perasaan tidak enak saat berlama-lama di kamar Dion sementara dua rekan mereka tak lagi di kamar itu (mungkin di ruang tamu?). Lalu  bagaimaan nasib Rizki dan Ryan saat Lena dan Dania ketiduran di kamar Dion? Apakah mereka menunggu di ruang tamu? Dalam wakktu selama itu? Atau, jangan-jangan mereka ikut-ikutan tertidur di ruang tamu? Jika jawabannya yang kedua, ini justru lebih konyol lagi, berarti mereka sedang mengadakan lomba tidur di rumah Dion.
4.  Jika Dion terlalu bergantung pada Dania dan Dania dengan senang hati melakukan apapun untuk Dion, itu biasa. Bagaimanapun Dion bukan anak bodoh. Dia hanya menderita ADHD; Attention Deficit Hyperactivity Disorder, yang membuatnya terlihat seperti orang bodoh, namun di sisi lain dia sangat profesional dalam mengoperasikan handycam-nya.  Di akhir cerita terungkap sebuah fakta bahwa ternyata Dania menyukai Dion. Ini bukan konflik baru sebenarnya. Sejak awal pembaca seharusnya  sudah bisa menebak atas sikap-terlalu-baik Dania terhadap Dion. Namun ketika satu persatu konflik terselesaikan di akhir cerita, perkara Dania-Dion yang tertangkap basah oleh Lena, justru menguap begitu saja tanpa penyelesaian.
5.      Saya yakin pembaca pasti suka melihat semangat yang dimiliki oleh Lena cs. Semangat untuk mewujudkan mimpi, semangat kerja keras dan pantang menyerah, semangat untuk memberikan yang terbaik untuk klub sekolah mereka. Sayangnya, mereka hanya memiliki semangat dalam bidang film saja. Mungkin akan oke-oke saja jika mereka adalah mahasiswa jurusan perfilman, namun mereka adalah siswa sekolah menangah atas, di mana tugas utama mereka adalah belajar yang tak hanya belajar film. Sejak awal, cukup sering digambarkan bagaimana seorang Lena yang suka membolos, Rizki apalagi, hanya demi mengerjakan proyek film. Saya rasa nilai ini agak kurang cocok untuk remaja kita, apalagi sasaran pembaca buku ini adalah remaja.
6.   Ada beberapa kata/kalimat yang saya tidak mengerti maksudnya. Awalnya saya kira mungkinkah ini typo? Dalam menilik sebuah buku, saya berusaha untuk tidak membahas atau menulis tentang typo. Namun jika kata/kalimat yang sama namun penulisannya juga sama terus sepanjang halaman buku, saya kira ini bukanlah typo. Kata seperti ‘merongoh-rongoh’ misalnya. Apakah maksudnya ‘merogoh’, ya?  Saya cek di KBBI, adanya sih ‘rogoh’ sebagai kata dasar dari ‘merogoh’. Juga kata ‘dongo’, apa maksudnya ‘dungu’? Saya tidak menemukannya di KBBI, namun juga tidak pernah mendengarkannya sebagai bahasa gaul. Atau, apakah saya yang kurang gaul? Mungkin saja, hahaa… 
7.  Kalimat ‘kertas yang dipegang olehku’ (halaman 41), itu adalah kalimat pasif. Nah, karena novel ini mengambil point of view orang pertama, di mana si aku sebagai Lena,  maka sebaiknya si aku menyatakan kalimat aktif, bukan pasif. Kalimat pasif biasanya dinyatakan oleh pihak lain selain ‘aku’ sebagai orang pertama, misalnya ‘kulihat kertas itu dipegang oleh Dania’ dan bukannya ‘kertas yang dipegang olehku’. Kalimat ‘kertas yang kupegang’ terdengar lebih enak daripada ‘kertas yang dipegang olehku’. Benar atau benar? :D
8.   Klub film sekolah, masak sih bernama Klub Film juga? Terus, saingan klub yang sama bernama Movie Club. Apakah penulis sedang kehilangan ide untuk memberi nama klub? Dua nama; Klub Film dan Movie Club, itu kan sama saja, tho? Satu bahasa Indonesia, satunya lagi bahasa Inggris. Mungkinkah maksudnya supaya pembaca tidak sampai ‘merekam’ nama-nama klub tersebut hingga kelompok mereka lebur dan bernama CineUs, sebagaimana judul novelnya?
9.   Poin ini agak subjektif ya,  jadi jangan dijadikan pedoman. Saya suka bagaimana penulis menggambarkan karakter Rizki, dia tokoh yang unik dan beda menurut saya. Biasanya nih ya, umumnya penulis teenlit lebih suka membuat tokoh cowoknya itu dengan wajah tampan, badannya tinggi, tajir, otaknya tokcer, anak orang kaya, idola cewek satu sekolahan, bla.. bla.. semuanya atau sebagian yang saya sebut. Namun tidak demikian dengan Rizki. Dia tidak tampan, gendut meskit tetap tinggi, penampilan slebor, dan introvert. Pokoknya, bukan tipe cowok idaman banget, anti-mainstream-lah.  Dengan cara ini, seolah penulis ingin menunjukkan bahwa siapapun bisa meraih mimpi dan mendapatkan cintanya, tanpa harus melihat fisik. Cuma satu yang membuat saya tidak suka dengan Rizki selain dia suka membolos; selera humornya garing. Masa' saat ditanya oleh Lena darimana dia mengetahui jalan rahasia menuju bunker, Rizki menjawab ‘Saya adalah ultraman’.
Overall, novel ini sangat inspiratif, cocok dibaca oleh remaja yang sedang seru-seruan dengan dunianya. No cinta-cintaan yang lebay nan alay.  Saya beri 3 bintang untuk novel ini. Sebagai penutup, saya kutip kalimat yang saya suka dalam buku ini;
Sahabat pasti akan kembali sekalipun bertengkar hebat. Sahabat sejati selalu punya tempat di hati. Kehilangan sahabat akan menyisakan ruang kosong yang tak bisa ditambal lagi. (hal. 215)

Setuju? :D
Buat yang penasaran bukunya seperti apa, silakan lihat trailer berikut dulu ya ;)



http://www.smartfren.com/ina/home/

 www.noura.mizan.com


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Previous
Next Post »

16 comments

Write comments
24 Desember 2013 pukul 04.57 delete

Yeaaah, puanjang banget reviewnya mak...bikin megap-megap kayaknya kalo bikin #ngelap-kringet# deeh ^_^, btw semoga sukses ya lomba reviewnya. Go go go (y)

Reply
avatar
yervi hesna
AUTHOR
24 Desember 2013 pukul 10.41 delete

Dalam banget ya fardelyn reviewnya. Semoga sukses

Reply
avatar
24 Desember 2013 pukul 14.55 delete

Mbak Christanty:
Iya mbak, kayaknya ini tulisan resensi saya yang terpanjang. Saat ngetik di lembaran word, gak nyadar udah 12 halaman, itupun setelah potong sana sini yang gak penting. Saking banyaknya yang ingin saya sampaikan tentang buku ini, hihiiii...
Makasih udah baca mbak ;)

Mbak Yervi:
Aamiin. makasih udah berkunjung ya mbak ;)

Tazaenjayy:
Saya juga pengen nonton, eh baca :D

Reply
avatar
HM Zwan
AUTHOR
24 Desember 2013 pukul 17.57 delete

beuhhh,komplit habiss mbk hehehe,,jadi semakin penasaran hehe

salam kenal^^

Reply
avatar
24 Desember 2013 pukul 18.37 delete

Wuihhh, panjanng nian--dang lengkap pula. Satu buku ternyata bisa disulap jadi beragam tafsiran. Jangan-jangan tar dibahas buat bahan tesis nih :) Semoga berjaya dan salam kenal dari Kota Hujan ....

Reply
avatar
24 Desember 2013 pukul 20.41 delete

mbak Hana:
sebenarnya belum komplit mak, tapi saya batasi aja sampai 12 halaman, hihii....

Mas Belalang Cerewet:
Wah...boleh juga tuh mas, nanti dipanjangin lagi trus jadi thesis, hahaa...
Terima kasih sudah berkunjung mas. Salam hangat dari negeri gajah putih :)

Reply
avatar
Ika Koentjoro
AUTHOR
25 Desember 2013 pukul 06.32 delete

Mbak Elyn, aje gile resensinya. Bakalan jadi juara nih.

Reply
avatar
25 Desember 2013 pukul 06.41 delete

Amin. Aku mengaminkan doa Ika berkali-kali

Reply
avatar
Lusi
AUTHOR
27 Desember 2013 pukul 10.21 delete

Ceritanya sendiri lebih cocok untuk anakku ya heheheeee.... tapi aku kagum dg Evie penulisnya & kreativitas promosinya, jadi ya kulihat-lihat juga trailernya di youtube. Keren sangat

Reply
avatar
27 Desember 2013 pukul 23.13 delete

Iya mak Lusi, cerita ini memang remaja banget. Tapi masih cucoklah dibaca sama emak-emak kayak kita, hihiiiiii...

Reply
avatar
Isratul Izzah
AUTHOR
28 Desember 2013 pukul 00.13 delete

kalo baca resensi kak Eky, ga tau ya, enak aja ngebacanya, jd gampang ngertinya. Point2 analisisnya keren! Smg menang ya kak, amiin :)

Reply
avatar
Isratul Izzah
AUTHOR
28 Desember 2013 pukul 00.19 delete

btw, salut buat kak Eky yg lagi sibuk sm thesis, sempat2nya juga nulis kayak gini, panjang pulak :D
kalo isra, sibuk dikit aja, urusan menulis jd belakangan, kayaknya memang hrs dipaksa, kalo gak malas ini bnr2 merajalela nantinya ^^9

Reply
avatar
30 Desember 2013 pukul 00.15 delete

Isra, makasih ya udah baca resensi ini. Mana agak panjang pula, heuheu... Kalau enak nulisnya dan lancar jaya idenya, memang gak terasa aja, eeeh..udah di halaman ke sekian.
Ini juga dipaksa-paksa Isra, biarpun jarang menulis, yang penting ada dan berusaha menampilkan yang terbaik, hehee.. yeah, diselang-seling sama nulis thesis, maka jadilah tulisan ini.
Sekali lagi, makasih udah berkunjung ya.
Saya aminkan doanya ;)

Reply
avatar
12 Januari 2014 pukul 12.13 delete

Terima kasih sudah mengapresiasi novel CineUs. Semoga nanti berkenan mengapresiasi sekuelnya :)

Reply
avatar
13 Januari 2014 pukul 12.12 delete

Sama-sama mbak Evi
Semoga saya bisa membaca sekuelnya dan juga membuat resensinya di blog ini. Ditunggu ya mbak ;)

Reply
avatar

Instagram @fardelynhacky