Dua
hari lalu saya mendapatkan –lebih tepatnya membeli– sebuah majalah yang baru terbit di Aceh yaitu
Majalah The Atjeh. Sebetulnya, media ini bukan benar-benar baru
dalam ranah media di Aceh. Majalah The Atjeh adalah sebuah lini
baru grup Atjeh Post yang lebih dahulu berkibar dari ranah media online.
Seperti
setiap kali membeli majalah baru, saya senantiasa membuka halaman per halaman
dan hanya melihat setiap topik dari membaca judulnya saja dahulu, sambil
membaui aroma kertasnya yang wangi, hahaa… Itu saya lakukan hingga halaman terakhir,
menentukan kapan ‘Me Time’ lalu balik ke halaman awal untuk membaca bahasan
utama. Namun tak jarang juga saya membaca bagian atau bahasan yang saya suka
terlebih dahulu. Majalah kan bukan novel yang mesti dibaca sejak awal ;)
Well,
sebagai majalah baru dan majalah daerah pula, saya acungi dua jempol untuk The
Atjeh untuk tampilannya yang (mencoba) lux dan high class. Tidak
kalah jika disandingkan dengan majalah-majalah ibukota, jika dilihat dari
materialnya dan ketajaman bahasan yang disajikan. Tampilan iklannya cakep,
walau porsinya agak kebanyakan menurut saya.
Dua contoh saja :D |
Yang menarik, sebelum pembaca
disuguhkan tulisan, mata kita akan disegarkan dengan gambar-gambar hasil
bidikan fotografer profesional.
Ini
adalah edisi perdana majalah The Atjeh. Saya tidak tahu, kecenderungan
majalah ini ke mana. Jika dilihat secara nama dan secara isi, saya menduga ini
adalah majalah khusus yang membahas tentang Aceh. Ya, apa saja tentang Aceh. Pokoknya
Aceh.
Saya
sendiri menerima majalah ini dua hari lalu dan bisa menghabiskannya dalam
sekali baca. Asyik memang membaca majalah-majalah ‘serius’ yang banyak
iklannya, sehingga bahasan yang terlihat ‘serius’ dan ‘berat’, tak terasa sudah
selesai dibaca dalam sekali selonjor.
Apa
saja bahasan pada edisi perdana ini?
(Yang
saya kira sebagai) ‘Bahasan Utama’ adalah sebuah tulisan tentang Arun. Siapa
yang tidak mengenal PT. Arun NGL, sebagai penghasil gas terbesar di Indonesia? The
Atjeh menyajikan bahasan utama tentang Arun secara detail dan komplit,
disertai dengan data-data yang akurat.
Membuat saya sebagai warga Aceh yang tidak tinggal dan berasal di kawasan
tersebut, tidak juga pernah menginjakkan kaki ke sana, jadi tahu banyak sejarah
berdirinya Arun, hingga kini di masa-masa menjelang berakhirnya riwayat
perusahaan raksasa di Aceh tersebut. Yang menarik, The Atjeh
tidak hanya menyajikan fakta tentang kilang Arun tok, yang kini nyaris
jadi besi tua, mereka juga membidik sisi lain dari sisa-sisa kejayaan (yang
nyaris menjadi) masa lalu dalam tulisan berjudul ‘Cerita Babi dan Monyet di
Bukit Elite’.
Dari
daerah penghasil minyak, Lhokseumawe, pembaca dibawa ke bagian tengah Aceh;
Takengon. Bahasan yang spesifik di daerah ini adalah Danau Lut Tawar.
Sebelum
menyodori pembaca dengan tulisan berbentuk feature ini, The Atjeh menyuguhkan
sebuah hasil bidikan kamera danau yang terkenal di Aceh ini, juga kegiatan
perempuan kampung yang sedang mengumpulkan ikan depik dari jala. Ini adalah
bidikan-bidikan yang pas untuk isi tulisan yang kemudian disuguhkan The
Atjeh dalam tulisan ‘Lut Tawar’ ini.
Danau Lut Tawar |
Nyatanya,
The Atjeh tidak hanya menilisik kehidupan nelayan yang tinggal di
tepi danau, namun juga tentang potensi wisata yang tersimpan di daerah
pegunungan tersebut. Menarik!
Selanjutnya
ada tulisan berita tentang kunjungan Menteri Kelautan dan Perikanan, ke kawasan
yang disebut Minopolitan, Aceh Timur, dalam rangka peresmian kawasan tersebut,
sehubungan dengan rencana pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Ini boleh
saya sebut sebagai ‘tulisan berita’ karena menyajikan fakta yang baru terjadi.
Selanjutnya
ada tulisan feature tentang kunjungan istri wakil Gubernur Aceh, Muzakir
Manaf, ke sebuah sekolah yang jika dilihat secara kondisi, termasuk kategori sekolah
yang layak mendapat perhatian. Sekolah ini ada Kecamatan Sawang, Aceh Utara.
Seandainya tokoh utama dalam feature ini bukan Kak Na – sebutan untuk
istri wakil Gubernur, tentu saya akan lebih menikmati membaca feature
ini. Hohoho…jangan mengartikan saya tidak suka dengan istri mantan kombatan GAM
itu. Hanya saja, jika ‘sang pahlawan’ yang ada dalam tulisan –meski itu tulisan
yang menggugah sanubari kita ketika membacanya– adalah istri pejabat, saya seperti merasakan aroma politis yang
kental.
Dan,
tulisan kedua yang sangat menarik setelah bahasan tentang Arun adalah apa yang
tercetak besar-besar di halaman depan majalah ini; ‘Keurajeun Lhee Sagoe’.
Keurajeun berarti kerajaan, Lhee berarti tiga, dan Sagoe
berarti segi. Secara keseluruhan, Keurajeun Lhee Sagoe berarti Kerajaan
Tiga Segi. Tidak pernah mendengar nama ini sebelumnya? Tenang, ini bukan nama
Kerajaan, bukan pula nama daerah. Disebutkan bahwa dulu, sebelum Islam masuk ke
Aceh, sebagaimana daerah-daerah lainnya di nusantara, Hindu adalah agama
mayoritas di daerah ini. Dari hasil penelusuran berupa bukti-bukti sejarah,
peninggalan-peninggalan masa lampau yang terkubur ribuan tahun dalam tanah,
sumber-sumber bacaan, dan penelitian, dahulu di Aceh pernah berjaya sebuah kerajaan
Hindu. Nama kerajaannya adalah kerajaan Lamuri. Tiga titik sentral kerajaan
Lamuri ada di tiga titik daerah di Aceh Besar; Indrapatra (Lamreh, Kecamatan
Mesjid Raya), Indrapurwa (Kecamatan Peukan Bada), dan Kecamatan Indrapuri.
Ulasan tentang sejarah Kerajaan Lamuri
dikupas secara tuntas dan tajam, setajam silet deh pokoknya :D Berkaitan dengan topik Kerajaan Tiga Segi ini, The Atjeh tak lupa pula memuat tulisan ulasan oleh seorang pakar dalam bidang arsitektur sekaligus Ketua Majelis Adat Aceh, Dr. Kamal Arif. Mantap!
Secara
pribadi, saya cuma melihat satu kekurangan untuk majalah ini, jika ini layak
disebut kekurangan. Yang saya maksud adalah tidak/belum adanya pencantuman nama
rubrik untuk setiap kali memasuki topik baru. Jika saya lihat, tulisan tentang
Arun bisa dijadikan sebagai rubrik ‘Bahasan Utama’ atau ‘Laporan Utama’, atau
sejenisnya, karena umumnya rubrik tersebut memuat sebuah ulasan yang panjang
yang biasanya dimuat sampai beberapa halaman majalah, komplit dan detail dari
sebuah fenomena atau masalah atau sesuatu yang masih menjadi tanda tanya dan
perlu penelusuran lebih jauh. Tulisan tentang Lut Tawar dan Suatu Hari bersama
Kak Nah mungkin bisa dibuat sebagai feature 1 dan feature 2.
Tulisan tentang Bocah Mortir bisa dijadikan sebagai rubrik ‘Luar Negeri’
misalnya. Begitu seterusnya. Soal kata untuk nama rubrik, yang saya tulis hanya
contoh saja, bagaimana baiknya itu tergantung redaksi majalah.
Sebenarnya,
apa gunanya dibuat nama rubrik seperti itu? Supaya pembaca tidak secara
tiba-tiba dipindahkan dari satu topik ke topik lainnya. Misalnya saat saya
sedang asik membaca feature perjalanan istri wakil gubernur ke sebuah
sekolah dasar, di mana terlihat anak-anak sedang bermain di situ, saya membuka
halaman selanjutnya dan juga menemukan seorang bocah. Lalu ketika membaca
teks-teks yang berkaitan dengan judul ‘Bocah Martil’, saya merasa dilemparkan
dari sebuah dusun di Kecamatan Sawang, Aceh Utara, ke sebuah daerah di Suriah,
tanpa ada penjelasan.
Lebih
lanjut, sebenarnya apa gunanya/maksudnya saya membuat tulisan ini? Tulisan ini
hadir karena apresiasi saya yang tinggi terhadap hadirnya media di Aceh. Apalagi
untuk media seperti The Atjeh yang sudah berusaha tampil elegan
dan professional. Sudah banyak media yang hadir, namun yang bertahan hanya
satu; dari dulu itu itu saja masalahnya. Saya berharap hadirnya bukan hanya su’uem
su’uem ek manok, begitu kata orang Aceh yang artinya panas-panas taik ayam.
Hadir sebentar, lama-lama hilang. Yang jangan sampai terjadi adalah hadir
sekali lalu tak pernah muncul lagi. Menjaga konsistensi itu memang sulit,
apalagi jika kemudian orang-orang yang membesarkan sesuatu yang sempat eksis, satu per satu
mundur di tengah jalan. Jika tak mampu hadir sebulan sekali, mungkin perlu
dipertimbangkan untuk menerbitkannya tiga bulan sekali.
Secara
keseluruhan, isi majalah ini memang mencerminkan ‘Aceh’. Sangat cocok diberi
nama The Atjeh. Sangat bermanfaat. Sangat inspiratif. Semoga The
Atjeh berjaya selalu.
4 comments
Write commentskelihatannya menarik, kak
Replyterutama foto2nya... bagus :)
untuk edisi perkenalan sepertinya tergolong sukses... foto-fotonya sangat bagus dan kemasannya juga mudah untuk dibawa-bawa, terlihat beda di rak majalah pas azhar beli di peunayong ... cerita di dalamnya juga dibahas secara menyeluruh (holistik). sukses aja buat majalah the atjeh.
Reply(kalau ada) sedikit kekurangan itu pastilah di bagian rubriknya ya Eky hihihihi
ReplyKhaira:
ReplyIyaaa...foto bagus-baguuus. cakep dah pokoknya ;)
Azhar:
Pokoke seperti yang saya bilang, kelihatan lux dan high class :D
Ihan: yaaa...itu diaaaa :D
ConversionConversion EmoticonEmoticon