Mahogany Hills; Sebuah Cinta yang Sederhana


Judul Buku : Mahogany Hills
Penulis : Tia Widiana                                                             
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : Mei 2013
Tebal : 355 halaman
ISBN : 978-979-22-9584-9

            "Bersamamu, cinta menjadi sangat sederhana..."
 Saya memutuskan membeli novel juara pertama ‘Lomba Menulis Novel Amore’, “Mahogany Hills” karena dua hal; pertama saya penasaran apa dan bagaimana novel-novel Amore itu. Di sebuah grup di facebook, ketika Gramedia meluncurkan lomba ini tahun lalu, beberapa teman penulis sempat berdiskusi tentang apa dan bagaimana novel Amore. Saya hanya mengikuti dan jadi sedikit tahu bahwa novel-novel Amore itu adalah jenis novel roman ala Harlequin. Ada banyak novel roman Harlequin, dengan beragam nama penulis, bahkan tak sedikit juga yang sudah diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia. Ingin tahu apa saja novel-novel Harlequin yang sudah diterjemahkan, silakan Googling saja sendiri, atau langsung ke web-nya Gramedia. Intinya, novel-novel Harlequin (buku luar) dan Amore (Indonesia) adalah novel dewasa.

Saya akhirnya memilikinya karena saya pikir novel-novel roman ala Harlequin adalah novel dengan latar, serta cerita yang ‘dilakoni’ oleh tokoh-tokoh luar dan tentunya ditulis oleh penulis-penulis dari luar, sementara Amore adalah cerita dengan citarasa Indonesia, meski kemudian ada beberapa buku dengan setting luar negeri tapi tetap ditulis oleh penulis Indonesia. Selain itu, berdasarkan pengalaman saya yang hanya baru sedikit membaca novel-novel Amore, nuansa budaya timurnya sangat terasa, misalnya dalam menuliskan adegan ciuman atau adegan suami istri, antara dua tokoh sentral novel. Dalam novel-novel Harlequin, dua adegan ini dituliskan dengan bombastis sekali. Ditulis secara mendalam dan mendetail, bahkan liar.  Yeah…you know-lah bagaimana novel-novel percintaan dari Barat sana. Tapi tidak demikian dengan Amore. Adegan-adegan ciumannya manis, tidak liar, dan dituturkan dengan lembut dan sopan.
Alasan kedua saya ingin membaca “Mahogany Hill” adalah karena saya tergoda dengan label ‘highly recommended’ dari beberapa review novel tersebut yang pernah saya baca.  Begitulah, saya yang mudah dibuat penasaran setengah mati dan mudah tergoda dengan kalimat yang menggoda :D
Well, sebelum berlanjut, baca dulu sinopsis novel keren ini ya:
Jagat Arya dan Paras Ayunda mendapatkan kehidupan yang mungkin diharapkan oleh semua pasangan pengantin baru. Segera setelah menikah, mereka tinggal di rumah bernama Mahogany Hills, di pelosok pegunungan Sukabumi yang sejuk dan indah.
Yang membedakan Jagad dan Paras dengan pasangan pengantin lainnya adalah mereka menikah bukan karena cinta. Baik Jagad maupun Paras punya rahasia yang mereka pendam. Kesepian, amarah, dan penyesalan bercampur aduk dengan rasa rindu dan kata cinta yang tak pernah terucapkan –semua itu senantiasa menggelayuti Mahogany Hills.
Dengan caranya masing-masing, Jagad dan Paras berjuang untuk menghadapi satu pertanyaan yang pada suatu titik harus mereka jawab: Sanggupkah mereka bertahan  dalam pernikahan yang tak sempurna itu?
***
Saya adalah penggemar cerita roman yang manis. Manis yang saya maksud tidak harus menggambarkan dua orang yang saling mencintai, menikah dan hidup bahagia selamanya. Kalau hanya begitu, di mana serunya? Yang menarik adalah ketika pasangan atau calon pasangan terlibat emosi benci cinta atau cinta benci yang terjadi secara tarik ulur. Hmm…mungkin seperti menonton serial-serial Korea yang sering menampilkan adegan tarik ulur seperti ini. Tolak menolak tapi merasa tertarik satu sama lain, rasa tertarik yang gengsi untuk diungkapkan. Semua itu diramu jadi satu dalam “Mahogany Hills”.
Saya mungkin sependapat dengan yang ditulis oleh tim juri bahwa apa yang membuat novel ini memikat mereka dan menjadikan “Mahogany Hills” sebagai satu-satunya kandidat juara pertama adalah plot cerita yang tersusun rapi, karakter yang kuat, kalimat yang sederhana namun begitu mengalir, serta mampu membuat pembaca ikut masuk ke dalam cerita.
Yang membuat saya terpikat, sebagaimana kalimat-kalimatnya yang membumi –sekali lagi saya setuju dengan tim juri, latar yang dipakai penulis, Tia Widiana, juga begitu membumi. Penulis mengambil latar cerita di sebuah pedesaan yang masih sunyi di pelosok Sukabumi, yang alamnya masih murni, yang penduduknya masih ramah serta bersahaja. Pernikahan  yang aneh antara Jagad dan Paras dilalui di tempat dengan gambaran suasana seperti di atas. Inilah kekuatan “Mahogany Hills”. Sementara akhir-akhir ini banyak novel roman yang mengambil setting yang rumit di luar negeri –pun kadang rumit dibaca oleh pembaca dalam negeri– namun Tia Widiana hadir dengan nuansa berbeda. 
Meski tokoh dalam novel ini digambarkan terlalu hitam putih, namun hal tersebut tersamarkan dengan adanya kekuatan karakter untuk tokoh Paras dan Jagad. Paras adalah tipikal perempuan yang legowo, menerima apa adanya, pokoknya tipikal perempuan baik hati seperti peri. Mau hujan badai longsor dan tsunami sekalipun datang menghadang, dia tetap berdiri tegak sebagai perempuan yang tegar. Mau dimaki atau dihina sekalipun, dia tetap berusaha tersenyum meski hatinya perih. Sebaliknya, suaminya, Jagad, adalah tipe laki-laki yang nge-bossy, egois, pemarah, dan gengsi mengakui kalau pada akhirnya dia mencintai istrinya. Tragisnya, sikap-sikap negatif tersebut hanya ditujukan pada Paras.  Sementara pada orang lain, Jagad justru bersikap sangat manis. Coba bayangkan, apa jadinya dua kepribadian yang saling bertolak belakang ini hidup dalam satu rumah, tanpa tetangga di sekitarnya (karna rumah-rumah di desa terpencil itu letaknya berjauhan), tanpa pembantu, dan… tanpa melakukan hubungan sebagaimana layaknya hubungan suami istri.
Cerita yang sangat Harlequin sekali, bukan? Namun bedanya, Tia menulisnya dengan latar pedesaan Indonesia, dengan karakter yang dipengaruhi budaya ketimuran, dan dengan kekuatan diksi yang digunakannya. Cerita cinta adalah cerita yang selalu dan terus berulang, itu-itu saja dari ratusan atau mungkin ribuan tahun lalu. Kalau bukan laki-laki yang jatuh cinta, ya sebaliknya, lalu dihadapkan pada prahara, lalu berjuang atau diam saja, lalu hidup dengan cinta atau mati selamanya dengan membawa cinta yang tak terkata atau terbalas. Tak ada cerita yang baru tentang cinta. Yang membedakan hanya jamannya saja dan media yang pelakunya jalani. Begitu juga dengan “Mahogany Hill”. Saya boleh katakan bahwa cerita cinta antara Jagad dan Paras terlalu biasa, sangat umum. Namun di sinilah dituntut kekreatifan penulis untuk mengeksplor cerita cinta yang biasa menjadi cerita yang berbeda. Tidak hanya berbeda sebetulnya, lebih dari itu, mampukah ia membuat pembacanya terpikat oleh setiap jalinan kalimat yang dirangkainya? Mampukah ia menggambarkan tokohnya menjadi kuat? Untuk hal ini, saya harus mengulang-ngulang tentang kepiawaian Tia Widiana meramu cerita dengan kalimat sederhana namun dia dengan hebat melakukannya. Saya agak susah menjelaskan sederhana tapi hebat itu bagaimana. Mungkin… seperti sebuah rumah yang bentuknya sederhana namun begitu kokoh bertahan dalam berbagai cuaca ganas. Dan saya rasa, penulis cocok sekali memberi judul novel ini dengan “Mahogany Hills”; sebuah rumah tua peninggalan kakek Jagad yang betul-betul menggambarkan kesederhanaan cinta Jagad dengan Paras.
Mungkin, satu-satunya hal yang menganggu saya adalah ketika Paras menderita amnesia setelah kecelakaan mobil yang dialaminya. Saya tidak menampik bahwa seseorang bisa saja kehilangan sedikit memorinya tentang sesuatu setelah tersadar dari ambang kematian. Bahkan dokter yang menangani Paras juga sudah menjelaskan hal tersebut secara ilmu medis. Saya bisa menerima penjelasan tersebut. Namun saya tidak bisa terima bahwa ternyata satu-satunya hal yang dilupakan Paras adalah suaminya. Ini sinetron banget. Lebih dari itu, saya sebenarnya menginginkan sebuah cara menyatunya pasangan suami istri ini dengan cara yang unik, yang berbeda, yang membuat siapapun menjadi meleleh ketika membacanya. Sampai di titik ini, saya mulai aneh dengan karakter Jagad. Oke, dia memang sudah jatuh cinta pada Paras sejak seringnya mereka bersama, sangat ingin memeluk Paras sejak mereka tidur bersama, hanya saja dia menepisnya mati-matian. Namun, hanya gara-gara istrinya amnesia, Jagad menjadi berbeda sama sekali. Dia menjadi lelaki yang linglung.
Secara keseluruhan, novel ini bagus sekali. Saya menyukai tulisan fiksi dengan bahasa sederhana namun dengan penggarapan yang dalam. Tia Widiana berhasil melakukannya untuk “Mahogany Hills”.  
Highly recommended!
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Previous
Next Post »

10 comments

Write comments
isni wardaton
AUTHOR
7 November 2013 pukul 23.54 delete

Cerita dewasa plus plus yaa kak... hhhehe... ^^

Reply
avatar
7 November 2013 pukul 23.54 delete

penasaran..
berapa rupee novel ini ky??

Reply
avatar
Azhar Penulis
AUTHOR
8 November 2013 pukul 03.27 delete

ini kakak, satu-satunya cerpen (?) yang udah pernah azhar publish di kompasiana ... udah di-edit sedikit sama guru menulis di salah satu kursus online ... would you like to leave any comment, please? :)

Reply
avatar
Azhar Penulis
AUTHOR
8 November 2013 pukul 03.28 delete

Ups,link-nya tertinggal : http://nowayreturn.blogspot.com/2013/09/kaleidoskop-cinta-kita.html

Reply
avatar
Khaira
AUTHOR
8 November 2013 pukul 06.58 delete

Saia suka buku ini... Habis dibaca sekali duduk (kok kayak cerpen ya?) haha..

Reply
avatar
Ila Rizky
AUTHOR
8 November 2013 pukul 08.51 delete

bikin panas dingin ga, mba eky? hihi, aku kok takut kalo baca amore reaksinya gt. :))

Reply
avatar
momtraveler
AUTHOR
13 November 2013 pukul 16.33 delete

Wooww jd penasaran harlequin Indonesia kya Gmn? Aku punya bbrp harlequin versi bule yg kalo dibaca bikin panas dingin hehehe....berkat kata maut higly recomended tadi novel ni segera masuk list novel yg hrs segera dibeli :)

Reply
avatar
Aslan Saputra
AUTHOR
14 November 2013 pukul 07.04 delete

Novel amore itu apa kak? novel dewasa?
terus diatas dibilang di mahogany hills ini masih membawa nuansa ketimuran, apalagi di pedesaan. Apakah masih menceritakan amore?
emang yg namanya novel percintaan selalu bikin pembaca geregetan :D

sepertinya harus baca biar ga bingung, hehe :D

Reply
avatar
15 November 2013 pukul 21.17 delete

Aslan:
Novel Amore itu novel dewasa Aslan, tuh kan ada saya tulis penjelasannya di atas, hehehe...
Ya, Mahogany itu ngambil setting pedesaan. Trus yang saya maksdu dengan nuansa ketimuran adalah untuk Amore keseluruhan Aslan, bukan hanya untuk Mahogany Hills aja :D

Reply
avatar
15 November 2013 pukul 21.19 delete

mbak Muna:
Yuk mbak dibaca Mahogany Hills boleh, novelnya mb Lyta juga boleh :D

Ila: Gak la, soalnya pernah baca Harlequin yang lebih bikin panas, wkwkwk...kalo ini menuurut saya masih standarlah :D

Khaira:
itu karena kita suka khaira :D

Azhar:

Reply
avatar

Instagram @fardelynhacky