Gambar: iStockphoto.com |
Seorang teman mengatakan bahwa dia tidak begitu tertarik dengan media sosial. Buatnya, terlalu asik di media sosial adalah pekerjaan yang membuang-buang waktu. Kebalikan darinya, saya justru begitu tertarik dengan media sosial.
So far, tidak ada yang salah dengan apa yang dikatakan teman saya itu, nyaris betul malah. Tapi karena saya terlalu tertarik dengan media sosial dan sudah memberi sedikit keuntungan buat saya, saya mencoba meminimalkan hal-hal yang membuang-buang waktu seperti: 1) menutup jendela chatting, sudah lebih setahun ini saya nggak pernah membukanya lagi, kalau ada perlu apa-apa dengan seseorang, saya tinggal mengiriminya pesan saja, begitu juga jika orang lain ada perlu dengan saya; 2) meng-hidden akun-akun tertentu. Apa yang saya maksud dengan akun-akun tertentu? Yaitu akun yang meng-update status sampe sepuluh kali sehari yang jadinya beranda newsfeed saya penuh dengan status-statusnya, padahal status yang dibuat nggak penting-penting amat, kemudian akun dengan status alay, akun yang provokatif dan terlalu militan.
Satu hal penting lainnya –buat saya– yang saya lakukan sejak setahun terakhir adalah mulai menyimpan status-status saya, komen-komen saya di status orang, ke dalam lembaran word. Saya lakukan ini karna saya ingin menyimpan hasil ‘pikiran’ saya yang tiba-tiba yang tertuang dalam status-status saya. Tahukah anda bahwa menulis status dan memberi komen-komen sebenarnya sama saja dengan kita berbicara dengan orang lain? Kita nggak pernah mikir kita mau nulis apa, yang ada sebaliknya, kita menuliskan apa yang kita pikirkan. Misalnya ketika pertama mendengar anak saya bilang kata ‘toko’ dan bukannya ‘koto’ sepeti sebelumnya, saya langsung menuliskan di status tentang apa yang saya dengar dan saya pikirkan hari itu.
Apakah saya akan melewatkan perkembangan anak saya begitu saja? Dalam artian status tersebut akan tenggelam ke bawah dan terlupakan. Maka dari itu, apapun status yang saya buat sekarang, saya selalu meng-copypaste-nya lagi ke lembaran Word. Biarkan status tersebut berkembang dan beranak pinak menjadi beberapa kalimat yang panjang. Lalu menjadi sebuah tulisan dengan satu judul. Satu status pendek jadi satu judul tulisan.
Begitu juga dengan komentar-komentar yang saya titipkan pada status teman-teman. Ini saya lakukan pada komentar-komentar yang agak panjang saja. Di sebuah grup kepenulisan, saya pernah menulis komentar yang agak panjang. Saat saya baca lagi komentar saya teresbut, isi komentar udah kayak saya lagi ngisi seminar kepenulisan gitu, xixixi… Lalu saya copi-paste ke Word, ternyata, olalaaaa.... satu halaman dengan satu spasi. Tentunya sangat disayangkan, jika komentar saya itu hilang begitu saja dalam belantara postingan ratusan anggota grup.
Pernah lihat orang ngomong kan, ya? Saya punya tetangga yang sukaaa sekali ngomong alias banyak omong. Saya suka bertandang ke rumahnya karena duduk berlama-lama dengannya bikin hidup nggak bosan. Ada saja topik yang menjadi pembahasannya dan itu tidak pernah habis-habisnya. Kayaknya, mulutnya cuma berhenti ngomong saat lagi tidur aja. Apakah dia mikir dulu kalo mau ngomong? Apakah saya dan Anda mikir dulu kalo mau ngomong? Tentu tidak. Saya ngomong karna memang ada yang ingin saya omongkan, begitu juga Anda.
Dulu sekali, waktu saya ikut sekolah menulis, guru menulis saya meminta 15 murid sekolah tersebut untuk maju ke depan dan berdiri di depan papan tulis. Karena itu hari pertama masuk, saya pikir saya dan teman-teman bakal dikerjain. Ternyata bukan. Masing-masing kami diberi spidol dan kami diminta menghadap ke papan tulis. Aba-aba selanjutnya adalah 'Tuliskan apa yang kalian pikirkan sekarang!" Saya masih ingat, saat itu saya menulis kata 'SENANG' di papan tulis, dengan capslock, lho, heuheu... Lalu guru kami meminta kami menceritakan apa maksud kata atau kata-kata yang kami tulis di papan tulis. Kami bercerita dan sang guru merekam hasil cerita kami. Lancar sekali kami bercerita. Ada yang bercerita dengan sangat menggebu-gebu, ada yang seperti orang mendongeng. Intinya, kami ngomong terus dan ngomong terus. Setelah itu, kami diminta menuliskan hasil 'penceritaan' tersebut dari hasil mendengarkan rekaman. Wah, menulis menjadi begitu lancar.
Lalu tentang saya, kenapa saya sedang 'SENANG' saat itu? Ceritanya, pagi hari sebelum saya berangkat ke sekolah menulis tersebut, saya membaca surat kabar di kota saya dan menemukan nama nangkring dengan manisnya di situ. Apa pasal? Karena saat itu saya memenangkan juara 1 lomba menulis tentang 'Perdamaian di Aceh' dan diumumkan di koran tersebut. Saya 'SENANG' karena mendapat juara 1 dan 'SENANG' karena saya diganjar dengan hadiah yang menggiurkan :D
Itulah makna 'SENANG' yang saya tulis di papan tulis hari itu dan kemudian menjadi sebuah tulisan yang manis.
***
Jika kita ingat-ingat lagi, saat kita menulis status, karena kita terpikir akan sesuatu, lalu tulis, lalu post. Begitu juga ketika memberi komentar pada status teman, apa yang terpikirkan, itu pula yang kita tuliskan di kolom 'Tulis komentar.' Inilah dahsyatnya 'menulis apa yang dipikirkan' BUKAN 'memikirkan apa yang akan dituliskan'. Coba kalo dikhususkan menulis dengan memikirkan topik tersebut, belum tentu saya bisa nulis sepanjang itu :D
Tentang status-status yang sudah setahun ini saya kumpulkan dan simpan, saya pernah membuat status begini;
Jika saya kumpulkan semua status dari awal kita bergabung di facebook hingga sekarang, mengumpulkan semua komentar-komentar kita di status saya sendiri plus komentar kita di status orang, mungkin akan menjadi seperti sebuah buku. Judul bukunya; “Gado-Gado: Maaf, ini bukan buku bagaimana menjadi pedagang Gado-Gado yang sukses atau bagaimana membuat Gado-Gado yang enak".
Nah, judul buku kumpulan statusmu apa? :D
Nah, judul buku kumpulan statusmu apa? :D
3 comments
Write commentsbetul banget mba ecky.. selama ini mungkin banyak orang yang memikirkan apa yang akan ditulis, justru itu akan semakin sulit untuk nulis
Replyitu masalah yang sering aku alam sebagai bloger pemula..
ReplyJudulnya bagus banget mbakkkk... kereenn...
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon